7

56 6 0
                                    

.
.
.
.

Kris terus saja menatap Mike dengan tatapan yang sangat tajam, rasanya tatapan itu bisa meruntuhkan tembok-tembok yang ada di rumah mereka. Dan Mike hanya tersenyum ditatap seperti itu oleh saudaranya.

"Kris, nikmati sarapanmu." Lebih tepatnya Mike meminta Kris untuk bersabar.

"Tidak lucu, Mike!" sahut Kris penuh emosi.

Tiba-tiba ponsel Kris berdering, ia pun mengalihkan perhatiannya dari Mike untuk menerima panggilan telepon.

Setelah selesai berbicara dengan seseorang di dalam telepon, Kris buru-buru mengambil jaket kulit hitamnya serta kunci mobil dan tidak ketinggalan pistolnya.

"Kris."

Walaupun sudah terbiasa melihat Kris dengan pistolnya, tapi tetap saja rasa khawatir itu tetap ada di hati Mike. Terlebih lagi Mike sendiri pernah melihat Kris tertembak. Jika bisa dihentikan, Mike akan menghentikan Kris, tapi siapa yang bisa menghentikan seorang Kris?

"Urusan kita belum selesai." Kris seolah-olah mengingatkan Mike atas ucapannya tadi malam, kemudian ia berlalu dari hadapan saudaranya itu.

"Tuan Mike," panggil seorang pelayan. Pelayan itu lalu membisikkan sesuatu kepada Mike.

"Apa mobilku sudah siap?" tanya Mike cepat.

Pelayan itu mengangguk. Mike pun mengakhiri sarapannya.

.
.
.

Dylan menyerahkan amplop yang ia terima dari sekolah kepada ibunya.

"Apa ini?" Lea memperhatikan amplop di tangannya, ia sedikit ragu untuk membukanya.

"Ibu dapat undangan dari sekolah, besok Ibu harus ke sekolah."

Perasaan Lea langsung saja campur aduk mendengar ucapan anaknya.

"Apa kau berkelahi?" tuduh Lea tak tenang.

"Uumm, Lusi juga mendapatkan amplop seperti itu, Bu." Dylan terlalu berat untuk meng iya kan tebakan ibunya.

"Kenapa kau berkelahi, Dylan? Jika mereka melukaimu bagaimana?" Kekhawatiran itu jelas terlihat sekarang, dan itulah yang tidak Dylan suka.

"Ibu datang saja besok ke sekolah. Jangan khawatir, aku tidak apa-apa, Ibu. Aku berkelahi karena mereka menyakiti Lusi." Dylan mencoba meyakinkan ibunya, bahwa tidak perlu mengkhawatirkan apa pun.

Dylan kadang tidak suka terhadap sikap ibunya yang agak berlebihan dalam mencemaskannya. Walaupun itu bukti bahwa ibunya sangat menyayanginya, tapi yang namanya berlebihan tetap saja tidak baik.

"Apa Lusi baik-baik saja?" tanya Lea khawatir.

Dylan mengangguk.

"Lalu bagaimana dengan kepalamu? Apa masih sakit? Apa perlu ke dokter?" tanya Lea yang lagi-lagi terdengar berlebihan bagi Dylan.

"Tidak perlu, Ibu. Kepalaku baik-baik saja," jawab Dylan sambil mengelus kepalanya.

"Kalau begitu cepat ganti bajumu dan setelah itu makan."

"Aku mau tidur saja, Ibu. Aku sangat mengantuk," jawab Dylan lalu masuk ke dalam kamarnya.

"Ha~~ anak ini," gumam Lea seraya berkacak pinggang.

.
.
.

Kemeja putih itu kini telah ternodai oleh darah, matanya yang indah dengan tatapan mematikan itu sedikit basah karena air mata, tangannya yang sedikit gemetar ia kepalkan.

Darah Berlian✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang