.
.
.
.Dylan menelungkupkan kepalanya di atas meja, suasana kelas masih sepi karena tak ada satu siswa pun kecuali dirinya di dalam kelas. Nampaknya Dylan terlalu pagi berangkat sekolah, ia kemudian mengambil headset dalam saku celananya yang sudah ia sambungkan dengan ponselnya, lalu ia menyumbat telinganya dengan headset tersebut.
Sesekali Dylan mengikuti lagu yang sedang ia dengarkan, jemarinya pun ia main-mainkan di atas meja. Karena merasa bosan, Dylan bangkit dari tempat duduknya, ia memilih keluar kelas dengan headset yang masih menempel di telinganya, ia terus berjalan dan mulai menaiki satu per satu anak tangga. Dan akhirnya Dylan sampai di depan ruangan konseling.
Dylan dapat melihat hampir semua penjuru sekolah dari tempatnya berdiri, ia pun memejamkan matanya menikmati udara pagi yang sangat tenang.
"Menyenangkan bukan, bisa melihat semuanya dari atas sini."
Dylan membuka matanya, lalu menoleh, walaupun telinganya sedang memakai headset, tapi ia masih bisa mendengar suara seseorang di sebelahnya.
"Ibu Victoria." Dylan melepaskan headset yang menempel di telinganya, ia tersenyum dan sukses membuat Victoria menjadi gemas padanya.
Bagaimana bisa anak di hadapan Victoria ini memiliki senyum yang begitu menggemaskan.
"Sendirian saja, di mana Lusi?" tanya Victoria yang tidak melihat Lusi karena biasanya Dylan dan Lusi selalu sepaket.
"Saya tidak datang bersamanya hari ini," jawab Dylan terdengar sedikit sedih.
"Tumben sekali, biasanya saya selalu melihat kalian datang bersama," balas Victoria.
"Sekarang kami tidak akan datang bersama karena saya sudah pindah rumah, dan rumah kami sekarang berlawanan arah." Dylan menghela napasnya berat, walaupun sering bertengkar, tetap saja ia sedih karena rumahnya sekarang berjauhan dengan rumah Lusi.
"Kau pindah rumah? Kenapa?"
"Andai saja saya tahu alasan kenapa Ibu saya menginginkan kami pindah rumah, pasti sekarang saya bisa menjawab pertanyaan Ibu," jawab Dylan. Raut wajahnya berubah murung, sangat terlihat Dylan teramat tidak ingin pindah rumah.
"Kenapa kau tidak bertanya kepada ibumu, hm," Victoria merasa kasihan kepada Dylan.
"Ibu saya tidak memberikan jawabannya."
"Apa karena kejadian tempo hari? Tapi ngomong-ngomong siapa orang-orang yang mengepungmu itu?" tanya Victoria penasaran.
"Saya tidak tahu siapa mereka," jawab Dylan membuat Victoria bingung.
"Itu sudah kedua kalinya mereka menemui saya," sambung Dylan."Eoh bukankah itu Lusi." Mata Dylan berbinar saat melihat Lusi. "
"Ibu, saya permisi dulu, sampai jumpa," pamit Dylan dan pergi dari hadapan Victoria.
Victoria semakin yakin kalau ada sesuatu pada Dylan, dan itu membuatnya semakin penasaran.
.
.
.Lusi menatap Dylan yang sudah menghadangnya di pintu kelas.
"Aku pinjam catatanmu."
Dylan mengeluarkan cengiran khasnya.Lusi langsung memalingkan wajahnya ke arah lain seraya melipat kedua tangannya.
"Kukira kau menghadangku karena merindukanku, ternyata hanya untuk meminjam catatan," ucap Lusi sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Kau sudah ada di hadapanku, jadi untuk apa aku merindukanmu," jawab Dylan masuk akal.
"Oh jadi kau merindukanku saat aku tidak ada di hadapanmu? Uh kau memang so sweet sekali, Dylaniiii." Lusi bertingkah menggemaskan, namun terlihat menggelikan di mata Dylan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Berlian✔
General FictionKris, Mike, dan Dylan adalah tiga bersaudara. Dylan terpisah dengan kedua saudaranya karena suatu kejadian yang terjadi di malam pesta ulang tahun. Dylan diculik oleh bibinya sendiri yang bernama Lea. Kris dan Mike selalu berusaha mendapatkan Dylan...