18

33 4 0
                                    

.
.
.
.

Lusi mengerjab-ngerjabkan matanya, membiasakan cahaya masuk ke dalam pupilnya. Kepalanya dirasa masih agak sakit.

"Eugh." Lusi melenguh.

"Akhirnya kau sadar juga, Lusi," ucap wanita cantik di sampingnya, sontak saja membuat Lusi terkejut.

"Ibu Victoria." Lusi seakan tidak percaya dengan sosok yang ada di sampingnya. Tiba-tiba Lusi langsung teringat kepada Dylan.

"Di mana Dylan?" Lusi mencari-cari sosok Dylan dan mendapati Dylan tengah tertidur di sebuah sofa, ia terlihat lega saat melihat Dylan.
Lusi kembali memperhatikan sekitarnya.

"Kalian di apartemen saya," ucap Victoria.

"Bagaimana kami bisa ada di apartemen Ibu?" tanya Lusi bingung.

"Saat pulang, saya melewati sebuah bengkel dan di bengkel tersebut saya melihat sepeda motor milik Dylan. Saya menanyakan kepada salah satu montir di sana, kenapa motor Dylan ada di bengkel itu, dan montirnya menjelaskan kepada saya, jadi saya menyusul kalian berniat ingin memberikan tumpangan kepada kalian, tapi yang saya dapati malah di luar dugaan. Kau pingsan dan Dylan di kepung orang-orang," jelas Victoria agar Lusi tidak bingung lagi.

"Apa Dylan berkelahi dengan mereka, Bu? Apa dia terluka?" tanya Lusi khawatir.

"Saya tidak yakin, tapi sepertinya dia tidak terluka. Hey! Kau seharusnya mengkhawatirkan dirimu sendiri. Kau yang terkena pukulan, kenapa kau menghalangi mereka? Seharusnya Dylan yang melindungimu," jawab Victoria tak habis pikir dengan sikap Lusi yang lebih mengkhawatirkan Dylan.

"Dylan dan ibunya selalu melindungi saya, jadi saya juga harus melindungi Dylan. Saya lihat tadi ada yang ingin memukul kepala Dylan, saya tidak bisa membiarkan itu terjadi," balas Lusi, ia bersukur bisa melindungi Dylan dari serangan itu.

"Kenapa?" tanya Victoria penasaran.

"Karena Dylan mempunyai cidera di kepalanya, jadi kepalanya tidak bisa terkena pukulan atau terbentur sedikit pun," jawab Lusi, detik berikutnya ia langsung mengutuk dirinya karana sudah dengan sangat lancarnya menjawab pertanyaan dari Victoria, padahal jawabannya adalah sebuah rahasia.

"Bodoh bodoh bodoh," batin Lusi.

"Lusi, kau baik-baik saja?" tanya Victoria menatap bingung Lusi.

"Ah iya Bu, saya baik-baik saja."

"Kau perlu sesuatu?"

Lusi menggeleng, Lusi menatap Dylan. Bagaimana kalau Dylan marah karena ia sudah memberitahukan perihal cideranya kepada Victoria.

Dylan terlihat menggeliat, dan tak beberapa lama kemudian, Dylan membuka matanya. Dylan bangkit dari posisinya lalu menghampiri Lusi.

"Kau baik-baik saja kan, Lusi?" tanya Dylan memeriksa keadaan Lusi.

Lusi mengangguk.

"Apa kepalamu musih sakit?" tanya Dylan khawatir.

"Sudah tidak dan sebaiknya kita pulang sekarang, ibumu pasti khawatir karena kau belum pulang," jawab Lusi yang melihat jam dinding.

"Kau benar, tapi kau yakin tidak apa-apa? Apa kita perlu ke rumah sakit?" tawar Dylan, ia tidak ingin sesuatu terjadi pada Lusi.

"Jangan berlebihan, kepalaku tidak se sensitif kepalamu," ledek Lusi.

"Diam kau," gumam Dylan seraya tersenyum ke arah Victoria.

Lusi terlihat menutup mulunya untuk yang kedua kalinya.

"Kalau begitu saya akan mengantar kalian," ucap Victoria, ia tidak ingin para preman tadi mengikuti anak muridnya.

Dylan dan Lusi saling menatap.
"YES!" Keduanya melakukan hight five.

.
.
.

Lea terlihat sangat cemas, sudah puluhan kali rasanya ia mondar-mandir di depan rumahnya. Kecemasannya bertambah karena dari tadi Lusi tidak mengangkat telepon darinya.

Terdengar suara pintu pagar yang bergeser, Lea pun dengan cepat menghampiri. Dan betapa marah dan leganya ia saat mengetahui siapa yang datang, tapi kemudian ia dibuat bungung karena melihat sosok guru konseling datang bersama Lusi dan Dylan.

"A–ada apa ini? Apa Dylan berkelahi lagi?" tanya Lea panik.

Lea juga menatap Lusi.

"Ah iya mari masuk dulu," ajak Lea pada Victoria.

"Tidak perlu, saya buru-buru. Saya ke sini hanya untuk mengantar Dylan dan Lusi karena tadi saat pulang sekolah mereka dihadang oleh gerombolan preman, saya takut terjadi apa-apa, makanya saya mengantarkan mereka. Jadi saya mohon jangan marah kepada Dylan karena pulang terlambat," jelas Victoria agar Lea tidak memarahi keduanya.

"Astaga! Apa ada yang terluka? Apa mereka menyakiti kalian?" tanya Lea bertambah panik.

Victoria tersenyum melihat kekhawatiran Lea karena ia dapat melihat dan merasakan bahwa sosok ibu di hadapannya itu sangat menyayangi anak-anaknya.

"Aku baik-baik saja, Ibu. Lusi lah yang terluka," jawab Dylan menunjuk Lusi.

Raut wajah Lea semakin panik saat mendengar jawaban Dylan, ia langsung memeriksa keadaan Lusi.

"Katakan kepada Bibi, siapa yang sudah melukaimu? Katakan, Lusi! Bibi akan mengirim mereka ke neraka."

"Bi... tenanglah, aku sudah tidak apa-apa, Ibu Victoria sudah mengobatiku dan kepalaku sudah tidak sakit," jawab Lusi mencoba menenangkan Lea.

Lea memeriksa kepala Lusi, ia juga mengelus-ngelus kepala Lusi.

"Syukurlah." Lea menatap Victoria. "Maaf saya kadang hilang kendali jika ada yang menyakiti kedua anak ini." Lea menghela napasnya Lega.

Victoria tersenyum, ia mengerti perasaan Lea. Tidak aneh jika Lea emosi.

"Kalau begitu saya pulang dulu," pamit Victoria.

"Terima kasih sudah mengantar anak-anak ini," ucap Lea lagi, ia tidak bisa membayangkan jika tidak ada Victoria.

"Sama-sama," jawab Victoria dengan senyuman manisnya, ia pun berlalu dari hadapan ketiganya.

Lea mengajak Dylan dan Lusi masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ia merasa ada yang memperhatikannya. Lea buru-buru membawa keduanya masuk.
Di dalam rumah, Lea kembali menanyakan keadaan Lusi.

"Masih sakit, Sayang?"

"Sedikit, Bi," jawab Lusi begitu manja.

"Malam ini kau tidur di sini saja, tidur bersama Bibi," pinta Lea sambil merapikan rambut Lusi.

Lusi pun mengangguk, ia juga masih agak takut karena kejadian tadi sore.

.
.
.
.

"SIAL!"

PRANG!

Semua barang di hadapannya hancur berserakan, ia sangat marah dan melampiaskan amarahnya kepada sesuatu yang ada di dekatnya.

"Kenapa kalian bisa kehilangan anak itu lagi?" tanyanya dengan tatapan murka.

"Ada sebuah mobil datang dan mengejar kami, kami tidak tahu siapa yang ada di dalam mobil itu. Dia datang tepat saat kami sudah mengepung anak itu," jawab salah satu anak buah.

"Aku harus mendapatkannya, harus!"

.
.
.
Bersambung
Jangan lupa vote dan komen yaw, maaf jika banyak typo. Maafkan juga kalau tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan 😁😁😁

Darah Berlian✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang