1

147 10 2
                                    

.
.
.
.


KRING!

Sebuah tangan berusaha keras untuk menggapai jam weker yang tengah mengeluarkan bunyi yang sangat berisik itu. Setelah berhasil menjinakkan jam wekernya, ia pun kembali melanjutkan tidurnya, tapi tak beberapa lama kemudian, ia langsung membelalakkan matanya dan bangkit dari posisi tidurnya.

Cepat-cepat ia mengambil ponselnya, ia langsung menepuk keningnya saat melihat ada 29 panggilan tak terjawab. Tiba-tiba saja ponselnya bergetar, pertanda sebuah panggilan masuk, ia lalu menggeser tombol hijau dari layar ponselnya.

"Ha–"

Belum selesai ia mengucapkan salam, ia sudah menjauhkan ponselnya dari telinganya.

"Astaga matilah aku," batinnya membayangkan nasibnya setelah ini.

"Iya, Ibu. Aku pulang sekarang."

Ia memutuskan panggilannya dan langsung melesat ke kamar mandi.

.
.
.
.

"Dylaniiiiiiii!" teriak seorang siswi saat melihat teman sekelasnya yang baru saja melewati gerbang sekolah.

"Berhenti memanggilku Dylani, namaku Dylan!" protes siswa ber-name tag Dylan Aigor.

"Kau tahu, kemarin saat pulang sekolah aku memergoki temannya Samuel siapa yaaaa ah! si Petrik sedang merekok dan aku langsung melaporkannya kepada guru," siswi itu berujar dengan sangat bangga.

"Wow~~~ hebat!" puji Dylan dengan nada yang dibuat seolah-olah ia merasa sangat kagum dengan cerita temannya itu.

"Kau ke mana saja, Bibi mencarimu. Bibi menelponku setiap saat hanya untuk menanyakan keberadaanmu, aku hampir saja gila karena seperti diteror oleh Bibi."

Lusiana Watson nama siswi itu, ia mulai mengoceh dan membuat Dylan harus mendengarkannya.

"Bukannya kau memang sudah gila." Kalimat itu meluncur bebas dari mulut Dylan.

"Jaga ucapanmu, Dylan! Aku bisa marah." Lusi mendengus kesal.

"Uuuu aku takut." Lagi, dengan nada yang dibuat-buat Dylan menggoda gadis di depannya itu.

"Menjijikkan, jawab pertanyaanku! Kau menghilang ke mana?" tanya Lusi, ia benar-benar penasaran atas menghilangnya seorang Dylan.

"Aku pergi ke kayangan dan bertemu dengan para bidadari." Dylan masih saja menjawab dengan candaan.

Lusi menghela napasnya kasar mendengar jawaban tidak masuk akal dari teman sekelasnya itu.

Dylan tertawa melihat ekspresi wajah Lusi.

"Kau tahu kemarin aku dike–"

"Aku tidak mau tahu!" potong Lusi sebelum Dylan menyempurnakan kalimatnya.

Hilang sudah niat Dylan untuk menceritakan kejadian kemarin yang menimpanya.

"Eoh! Tanganmu kenapa, Dylan?" tanya Lusi saat menyadari ada luka di bagian tangan Dylan.

"Ibu ingin memukulku, aku ingin lari, tapi aku malah terjatuh." Dylan kembali meratapi dirinya, mengingat kejadian sepulangnya dari apartemen itu.

"HAHAHAHAHAHA ingin sekali aku melihat adegan saat kau dikejar Bibi dan terjatuh." Lusi tidak bisa menahan tawanya saat membayangkan kejadian yang menimpa Dylan.

"Ini salah satu alasan kenapa aku tidak ingin bercerita apa pun kepadamu." Dylan meninggalkan Lusi yang terus saja menertawakannya.

"Dylaniiiiiii jangan marah, tunggu aku." Lusi mengejar Dylan yang sepertinya sedikit merajuk

.
.
.

"Baiklah anak-anak, saya akan menjelaskannya setelah istirahat nanti."

"Iya, Buuu."

"Selamat istirahat."

Semua murid pun berhamburan keluar kelas untuk menikmati jam istirahat.

"Duuh anak mama," celetuk seseorang tepat di belakang Dylan.

"Lalu kau anak siapa? Anak bibimu?"
sahut Dylan seraya membuka bekal makan siangnya.

"Hey kalian, ayo ke kantin," ajak seorang siswa ber-name tag Romeo Morris.

"Kalian saja, aku ingin memakan bekalku di kelas," tolak Dylan tidak ingin melewatkan bekal yang sudah dibuatkan oleh ibunya.

"Kau sajalah Rome, aku malas," tolak Lusi juga.

"Kau ingin aku belikan sesuatu, Lusi?" tawar Romeo, berharap Lusi akan mengatakan sesuatu yang akan dibeli.

"Tidak Rome.. terima kasih," tolak Lusi lagi dengan ramah.

"Ya sudah kalau tidak mau." Remeo pun keluar dari kelas dengan sedikit rasa kecewa.

"Aku mendengar bunyi keretakan di hati Rome," goda Dylan, ia menahan tawanya.

"Jangan bicara omong kosong!" tegur Lusi tak suka.

"Ngomong- ngomong kau tidak lapar?" tanya Dylan, walaupun kadang menyebalkan, tapi Dylan cukup perhatian dengan temannya itu.

"Aku lapar dan aku ingin memakan bekalmu."

Keinginan Lusi langsung mendapat tatapan mematikan dari Dylan, tapi detik berikutnya Dylan langsung menyodorkan bekalnya kepada Lusi.

"Makanlah."

Tanpa rasa canggung dan malu, Lusi menyantap makan siang milik Dylan.

"Aku iri padamu karena kau mempunyai ibu yang sangat pandai memasak," puji Lusi seraya terus melahap makanan di depannya.

"Makan saja jangan banyak bicara," tegur Dylan dengan wajah setengah ikhlas karena bekalnya dimakan oleh Lusi.

"Dylan, Samuel mengajakmu bermain basket," ucap seseorang di depan kelas Dylan.

"Kapan?" Dylan menyahut.

"Hari ini pulang sekolah."

"Tidak bisa, hari ini ibuku memintaku untuk pulang cepat, bagaimana kalau lusa?" tawar Dylan karena tidak mau terkesan menolak tantangan Samuel.

"Baiklah akan kusampaikan." Siswa itu pun lalu pergi.

"Apa ada acara di rumahmu?" tanya Lusi penasaran karena tidak biasanya Dylan menolak ajakan bermain basket.

Dylan menggeleng.

"Lalu kenapa Bibi memintamu untuk pulang cepat hari ini?" Lusi terlihat semakin penasaran.

"Aku berbohong hahahaha."

"Sial," umpat Lusi dan melanjutkan makannya.

Sungguh membuang waktu saja bertanya kepada Dylan karena jawabannya selalu membuat Lusi ingin memukul kepala temannya itu.

Tidak terasa bel masuk kelas pun berbunyi, satu per satu murid mulai memasuki kelas dan duduk di bangku masing-masing.

.
.

"Apa kau mengerti dengan apa yang dijelaskan ibu Maya?" Lusi menoleh ke samping kirinya.

"Yang pasti Rome jauh lebih mengerti, jadi sebaiknya kita menyontek pekerjaan Rome," jawab Dylan tidak mau ambil pusing.

"Kerjakan sendiri-sendiri!" perintah ibu Maya, guru Matematika yang sedang duduk di depan sana.

Dylan menatap soal yang ia tulis di bukunya. Bagaimana ia mengerjakan sendiri soal-soal itu kalau ia tidak mengerti sama sekali dengan penjelasan dari gurunya.

Dylan merasa otaknya tidak bekerja sama sekali dengan pelajaran Matematika. Bukan hanya tentang Matematika, ia merasa memang cukup sulit mengajak otaknya bekerja sama untuk hal-hal yang membutuhkan konsentrasi lebih. Ia bukannya pemalas, tapi jika ia terus memaksa maka akan berakhir dengan sakit kepala yang teramat dahsyat dan Dylan tidak menginginkan itu.

################################
Bersambung

Darah Berlian✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang