35

35 3 0
                                    

.
.
.
.

Pintu kamar rumah sakit tempat Dylan dirawat terbuka.

"Kris," panggil Lea, tapi raut wajah Lea dan seluruh orang yang ada di dalam ruangan tersebut berubah. Karena ternyata yang datang bukanlah Kris melainkan Erik.

"Kau!"

"Jangan menodongkan pistolmu kepadaku, Mike!" Erik menatap Mike, tapi tangannya mengarahkan pistol kepada Dylan.

"Hai anak yang dikorbankan," sapa Erik kepada Dylan.

"Siapa kau?" tanya Dylan dari tempatnya berbaring.

"Jangan menyakitinya, Erik! Dia baru saja siuman. Aku mohon jangan sakiti anakku. Berlian itu sudah tidak ada padanya." Lea memohon karena ia tahu betapa gilanya Erik.

"Si–siap dia, Bi?" tanya Lusi yang baru saja keluar dari toilet.

Erik menatap Lusi dan tersenyum.

"Bi? Kau memanggilnya Bibi? Seharusnya kau memanggilnya Ibu. Bukan begitu, Lea?" Erik menatap Lea. "Dylan memang menyedihkan karena dia dikorbankan untuk sebuah berlian, tapi kau jauh lebih menyedihkan, Lusi. Ibumu meninggalkanmu dan lebih memilih untuk merawat anak ini."

"Hentikan omong kosongmu, Erik!" tegur Mike, ia tidak ingin Dylan atau pun Lusi sakit hati, keadaannya memang rumit, tapi Mike yakin bibinya tidak sejahat itu.

Anak buah Erik satu per satu mulai masuk ke dalam ruangan seraya menodongkan senjata api.

"Aku tidak ingin menyakiti kalian, yang aku butuhkan hanyalah Dylan, mari jangan mempersulit urusanku," pinta Erik tersenyum penuh kemenangan.

"Aku mohon jangan sakiti dia, Erik. Aku mohon." Lea bersujud di hadapan Erik.

"Ck ck ck mengharukan sekali." Erik memperlihatkan wajah kasihannya melihat Lea.

"Tenanglah aku tidak akan menyakiti Dylan, tujuanku adalah membunuh Kris dan mengambil berlian itu," bisik Erik di telingan Lea.

"Bawa anak itu bersama kita!" perintah Erik kepada anak buahnya.

Anak buah Erik membawa Dylan bersama seluruh berlengkapan rumah sakit yang masih melekat pada tubuh Dylan.

Mike mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa, dan Lea hanya bisa menangis sejadinya.

Sedangkan Lusi masih percaya tidak percaya dengan kenyataan yang baru ia ketahui, rasanya semua sendi di kakinya lenyap membuatnya tak mampu berdiri, Lusi meraih ponselnya.

"A–yah Ayah di mana? Se–seorang telah membawa Dylan dari rumah sakit. To-tolong Bibi Lea, Ayah."

Mike menghampiri Lusi yang masih kebingungan dan shock, dielusnya kepala Lusi. "Jangan percaya dengan ucapannya, Ibumu tidak pernah meninggalkanmu."

Lusi menatap Lea yang masih saja menangis.

"Mike!" Peter datang dengan napas yang tersenggal-senggal, bajunya juga penuh dengan darah.

"Ada apa denganmu, Peter?" tanya Mike panik.

Peter mencoba mengatur napasnya.

"Aku tidak apa-apa," jawab Peter.

"Lalu di mana Luis? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Mike, ia berharap apa yang ada dalam pikirannya tidak terjadi.

"Luis juga tidak apa-apa, Mike. Tapi Kris." Peter seakan tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya.

"Kris kenapa?" tanya Lea yang sedari tadi menangis.

"Kris terluka parah, darah di bajuku ini adalah darah Kris," jawab Peter, ia mengusak rambutnya frustasi.

Darah Berlian✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang