.
.
.
.Lea menangkup kedua tangannya, air matanya tak bisa berhenti mengalir. Keadaan Dylan benar-benar membuat hatinya hancur. Ucapan Victoria juga terus terngiang di kepalanya, ia benar-benar tidak pantas menjadi seorang ibu.
"Bi.." Mike menyentuh pundak Lea, membuat sang bibi membalikkan tubuhnya.
"Selamatkan Dylan, Mike," pinta Lea begitu pilu.
Mike langsung memeluk bibinya itu, dielusnya rambut sang bibi.
"Asalkan Dylan selamat, aku tidak akan menginginkan berliannya. Aku tidak akan merebut berliannya dari kalian. Selamatkan anakku, Mike."
Satu hal yang dapat Mike pastikan sekarangn, yaitu Lea benar-benar menyayangi adiknya layaknya seorang ibu menyangi anaknya. Dylan dibesarkan oleh orang yang tepat.
"Dokter akan berusaha menyelamatkan Dylan, berdoalah yang terbaik untuk Dylan, Bi," pinta Mike mencoba menenangkan Lea.
Mike menyeka air mata Lea, ia juga merapikan rambut Lea yang terlihat berantakan.
.
.Sekarang Kris sedang berada di ruangan Joshua, Kris menatap Joshua dengan tatapan dingin.
"Kau bisa percaya padaku, Kris. Niatku hanya untuk menyelamatkan adikmu, itu saja." Joshua menatap balik Kris, ini pertama kalinya ia diragukan menjadi seorang dokter.
"Kau sekarang tahu siapa aku, Josh." Kris menggantungkan kalimatnya.
"Kau bisa membunuhku jika aku memberitahukan apa yang aku ketahui kepada orang lain, Kris," ucap Joshua lantang. Jujur saja jika bukan karena permintaan Victoria, Joshua juga tidak akan mau berurusan dengan keluarga Routter.
Tanpa diduga-duga Kris melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Tiba-tiba saja Kris bersimpuh di hadapan Joshua, membuat Joshua terkejut.
"Aku mohon selamatkan Dylan, Josh." Air mata yang selama ini Kris tahan akhirnya tumpah juga.
Joshua dengan segera meminta Kris untuk berdiri, ia tidak menyangka Kris akan bersimpuh di hadapannya.
Bukankah sekarang Kris terlihat sangat menyedihkan karena untuk pertama kalinya Kris memohon seperti itu kepada seorang manusia.
"Berdoalah, Kris." Joshua menepuk-nepuk pundak Kris.
.
.
.Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya hari ini diputuskan Dylan akan menjalani operasi pengangkatan peluru di kepalanya. Baru saja dokter membawa tubuh Dylan ke dalam ruang operasi.
Lusi dan ayahnya juga terlihat datang, dan sebenarnya Kris sedikit merasa terganggu dengan kehadiran Denis, ayah Lusi.
Kris tahu kalau ayah Lusi adalah seorang polisi dan sepertinya bukan tempat yang tepat untuk seorang polisi berada di dekatnya.
Lusi mencoba menenangkan Lea yang tak henti-hentinya menangis.
"Kau makan dengan enak, Sayang? Maaf Bibi tidak mengunjungimu akhir-akhir ini." Lea membelai pipi Lusi.
"Tenang, Bi. Ayah sekarang sudah pintar memasak," bisik Lusi, memunculkan sebuah senyuman di wajah Lea yang basah karena air mata.
Lea menatap Denis sebentar lalu menundukkan kepalanya, Denis pun mengelus rambut Lea.
"Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja," ucap Denis menenangkan Lea.
Mike melihat dan ia tidak buta dengan perhatian yang diberikan Denis kepada bibinya. Walaupun Denis terlihat cuek, tapi Mike tahu kalau Denis menatap Lea dengan tatapan yang berbeda.
.
.
.Joshua terkejut saat mengetahui benda yang bersarang di kepala Dylan bukanlah peluru biasa, dengan segera ia mengamankan peluru tersebut. Tiba-tiba saja denyut jantung Dylan melemah, sepertinya ada sedikit kesalahan saat peluru tersebut diangkat. Seperti yang diperkirakan sebelumnya, operasi ini tidak akan mudah.
"Pendarahannya tidak berhenti."
Joshua harus bersikap tenang. Setiap Dokter pasti pengalami situasi mencekam seperti ini, ia terus saja mengingat kalimat yang diucapkan Kris. Harus diakui, ia sedikit khawatir sekarang. Jika Dylan mati, maka mungkin bukan hanya dirinya yang akan dihabisi Kris, tapi seluruh anggota timnya yang membantunya sekarang.
.
.
.
.
.Setelah memakan waktu yang teramat sangat panjang, pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Sontak saja semuanya menatap ke arah tersebut. Kris adalah orang pertama yang menghampiri Joshua. Joshua membuka masker yang menutupi setengah wajahnya.
"Operasinya berhasil, tapi kondisi Dylan masih kritis, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa." Joshua menjelaskan sebelum Kris bertanya.
"Aku ingin kau ikut ke ruanganku," pinta Joshua, lalu pergi meninggalkan semuanya.
Kris pun mengikuti Joshua ke ruangannya, sesampainya di dalam ruangan. Joshua membuka kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya, ia kemudian merogoh saku. Joshua memperlihatkan sesuatu di tangannya.
"Hanya karena ini kalian menunda operasinya?" tanya Joshua. "Apa berlian ini lebih berharga dari nyawa adik kalian? Dan orang bodoh mana yang sudah dengan sengaja meletakkan benda ini di kepala anak yang tidak bersalah itu?"
"Orang bodoh itu adalah Ayahku, Josh," jawab Kris menatap kosong peluru kecil di tangan Joshua.
"Wah! Kalian sungguh keluarga yang luar biasa!" Terlihat sekali bahwa Joshua sangat marah dengan tindakan yang telah ayah Kris lakukan. "Aku mengerti sekarang kenapa Victoria menjadi sangat marah dengan keluarga menakjubkan ini."
Joshua melemparkan berlian berbentuk peluru di tangannya ke arah Kris, dan dengan sigap Kris menangkap berlian tersebut.
"Terima kasih, Josh."
"Berterima kasihlah kepada Victoria, kalau bukan karenanya, aku tidak akan mau berurusan dengan keluarga kalian," jawab Joshua.
Mendengar ucapan Joshua sontak saja membuat Kris teringat akan kekasihnya. Entahlah, apa masih pantas Kris menganggap Victoria sebagai kekasihnya? Ia pun mengambil ponselnya dan dengan segera mencoba menghubungi Victoria.
Sialnya Victoria tak kunjung mengangkat telepon dari Kris. Kris mengusak rambutnya, ia sedikit frustasi lalu keluar dari ruangan Joshua.
.
.
.
Bersambung
Jangan lupa vote dan komen guys 😄😄😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Berlian✔
General FictionKris, Mike, dan Dylan adalah tiga bersaudara. Dylan terpisah dengan kedua saudaranya karena suatu kejadian yang terjadi di malam pesta ulang tahun. Dylan diculik oleh bibinya sendiri yang bernama Lea. Kris dan Mike selalu berusaha mendapatkan Dylan...