6

51 7 0
                                    

.
.
.
.

Matahari bersinar cerah pagi ini, kicauan burung- burung pun ikut menghiasi suasana pagi, mereka seakan mengatakan kepada dunia untuk tidak melewatkan pagi yang indah ini.

Tapi sepertinya ada seseorang yang tidak tertarik sama sekali dengan pagi yang indah ini. Jam wekernya sudah berbunyi, tapi dengan mudahnya ia menghentikan suara dari jam wekernya dan kembali tidur.

"Dylan bangun... kau bisa terlambat ke sekolah."

Tapi bukannya bangun, Dylan malah mengganti posisi membelakangi ibunya sambil memeluk boneka kucing.

"DYLAN!" teriak Lea yang tak sabaran.

Seketika Dylan terperanjat dari posisi tidurnya dan membuat kepalanya terbentur bagian bed head kasur.

"Aw!" erang Dylan seraya mengelus-elus kepalanya, kesakitan.

"Dylan!" pekik Lea panik bukan main.

"Tidak apa-apa, Ibu. Tidak apa-apa." Dylan berdiri dan mengambil handuk, kemudian masuk kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, Dylan berdiri di depan cermin.

"Kenapa bisa sesakit ini," pikirnya bingung. Padahal kepalanya hanya terbentur bagian bed head yang notabene masih masuk kategori empuk.

.
.
.

Lusi terus memperhatikan jam tangannya, ia menunggu kedatangan Dylan. Tidak biasanya Dylan belum menampakkan batang hidungnya.
Atau jangan-jangan Dylan menghilang seperti tempo hari? Bisa gawat urusannya jika Dylan menghilang lagi karena Lusi lah orang yang akan dihubungi terus-menerus oleh ibunya Dylan.

Untung saja jam pertama gurunya tidak masuk, Lusi pun memilih keluar dari kelasnya dan berjalan menyusuri ruangan kelas lain, mungkin saja ia menemukan Dylan, tapi kemudian langkah Lusi terhenti, ia buru-buru membalikkan badan saat melihat Samuel dan teman-temannya, di antara mereka sudah pasti ada Petrik, orang yang ia laporkan tempo hari.

"Hey Lusi!" panggil Samuel sedikit berteriak.

Dengan cepat Samuel dan kawan-kawan menghampiri Lusi.

"Di mana Dylan?" tanya Samuel.

"Aku tidak tahu, aku tidak melihatnya hari ini," jawab Lusi buru-buru karena ingin segera pergi.

"Tunggu!"

Sebuah suara menahan Lusi dan itulah yang ditakutkan Lusi.

Petrik memperhatikan wajah Lusi.

"Bukannya kau yang melihatku merokok dan melaporkanku kepada guru."

"Haha kau pasti salah orang." Lusi mengelak seraya hendak pergi, tapi tangannya langsung ditahan oleh Petrik.

"Aku tidak mungkin salah orang." Petrik langsung mencengkram lengan Lusi.

"Jadi dia orangnya."

"Berani sekali."

"Lepaskan, tanganku sakit." Lusi terus berusaha melepaskan diri, ia berharap sekali ada Dylan atau pun Romeo yang datang untuk menyelamatkannya.

"Ikut aku." Petrik hendak membawa Lusi, tapi Lusi bersikeras menolak dan berusaha melepaskan diri dari cengkraman Petrik. Hingga Lusi terjatuh, tapi Petrik seperti tidak punya belas kasihan dan terus saja mencengkram lengannya.

"Lepaskan tangannya, Petrik!" perintah sebuah suara.

"Jangan ikut campur!" Petrik terus berusaha menarik Lusi tanpa memperhatikan si pemilik suara.

Darah Berlian✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang