five

3.2K 397 54
                                    

Author pov

"Daniel"

Suara teriakan dari ruang tamu terdengar sampai telinga pemuda itu. Buku yang sedari tadi ia baca ditutup, kemudian dirapikan kembali ke lemari buku buku.

Kedua kakinya melangkah keluar kamar menuju sang ibu yang tadi meneriaki namanya.

"Ada apa eomma?" Tanyanya heran ketika mulai duduk di kursi panjang dekat ibunya yang memasang wajah haru. Kedua matanya melirik secarik kertas yang ada ditangan wanita tersebut.

"Surat dari noona-mu Daniel"

Kedua mata Daniel melebar mendengar perkataan sang ibu. Tangannya dengan spontan mengambil kertas yang digenggam sang ibu kemudian mulai membacanya.

"Noona-mu baik baik saja Daniel, dia baru menginap di rumah temannya karena ada tugas dari kampus, dia belum bisa pulang sekarang, mungkin beberapa hari lagi"

Setelah membaca isi kertas tersebut, Daniel menatap sang ibu yang menjelaskan semuanya dengan wajah haru, karena tau Seulgi baik baik saja.

"Iya eomma, Seulgi noona baik baik saja, eomma tak usah khawatir" Kedua tangannya menarik sang ibu ke dalam rengkuhannya. Dia mencoba tersenyum, meskipun hatinya sedang tak karuan.

Entahlah, dia merasa tidak bisa mempercayai ini semua begitu saja. Ada banyak pertanyaan yang terlintas di pikirannya.

"Tidak mungkin tugas kelompok sampai berhari hari"

"Ini bukan tulisan Seulgi noona, aku yakin"

Dan banyak lagi pertanyaan pertanyaan di kepalanya saat ini. Dia tidak boleh menampakkan kekhawatirannya pada sang ibu. Biarlah dia sendiri yang akan mencari tau kejelasan dari semua ini.


_____




Melamun dan melamun. Itulah yang sedari tadi dilakukan gadis berambut panjang itu. Duduk di atas ranjang dengan kaki berselanjar dan punggung yang disandarkan pada dashboard tempat tidur.

Tak ada yang bisa gadis itu lakukan selain berdiam diri di dalam kamar. Dia ingin keluar menikmati pemandangan di sore hari seperti yang biasanya dia lakukan sebelum kejadiaan naas itu menimpanya, tapi mana mungkin dia bisa menikmati pemandangan lagi, yang dia lihat pasti hanya gelap dan gelap.

Tidak, dia tidak boleh menangis lagi. Sudah cukup air mata yang keluar dari mata indahnya. Dia harus bisa menerima semua ini.

"Seulgi?!!"

Lamunannya buyar tatkala mendengar suara seseorang memanggil namanya. Siapa lagi kalau bukan Jimin. Dia sudah hafal suara lelaki ini. Laki laki yang menjadi biang dari semua yang menimpanya. Karena larut dalam pikirannya, sampai Seulgi tak menyadari seseorang duduk di ujung tempat tidurnya.

Gadis itu tak merespon apapun panggilan dari Jimin. Sebenarnya dia sudah memaafkan Jimin, tapi entahlah dia hanya sedang malas menanggapai apapun.

"Aku sudah menyuruh seseorang untuk menyerahkan surat itu ke ibumu"

Perkataan itu sukses menyita perhatian Seulgi. Kepalanya mendongak, kedua matanya seperti mencari objek yang tak tentu.

"Lalu?"

"Hmmm?"

"Ibu dan adikku bagaimana keadaannya? Mereka baik baik saja kan?" Tak bisa dipungkiri rasa khawatirnya pada keluarganya di rumah semakin besar. Dia takut terjadi apa apa pada mereka.

"Mereka baik baik saja, tak usah khawatir"

Seulgi bernafas lega. Dia merasa bersalah telah membohongi ibu dan adiknya. Surat yang mereka terima memang bukan surat hasil tulisan tangan Seulgi, tapi tulisan tangan Jimin.

THE DESTINY (seulmin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang