23 회

4.3K 775 174
                                    

"Dia tak akan bisa memisahkan kita. Apa aku jahat jika mengatakan padanya bahwa ia hanya sampah yang pernah berserakan dikehidupanmu?"

Lee Taeyong

"Ten, kau tidak apa apa?"

Taeyong memandang sendu pintu toilet kampus. Tangisan Ten pecah didalam sana. Ia menggigit bibir bawahnya, kembali mengetuk bilik itu, "Ten kau kenapa?" sahut Taeyong sembari menghentakkan kakinya.

"Aku baik-baik saja Taeyong," Ten menarik nafas dalam, menahan isakannya agar tak lagi lolos dari bibirnya, "Masuklah ke kelas, aku akan menyusul." katanya lalu membekap mulutnya.

Taeyong mendesah frustasi diluar sana, "Ten, aku tak akan pergi sebelum kau mengatakan kenapa kau menangis," sahut Taeyong dengan nada kesal.

"Aku hanya... hanya tiba-tiba merindukan Ibuku Tae," balas Ten berbohong sambil terisak pilu, "Pergilah, aku ingin sendiri," sambungnya masih dengan isakan.

Cukup lama tak ada suara dari luar, Ten menghapus kasar air matanya. Membasuh wajahnya dengan air dari keran lalu mengeringkannya dengan tisu, "Jangan cengeng Ten, kau bisa," katanya menyemangati dirinya.

Ten membuka pintu. Langkahnya terhenti saat matanya tertuju pada sepasang sepatu yang sangat ia kenali. Ia mendongak perlahan, tersenyum tipis pada Doyoung yang menatapnya dalam.

"Kenapa kau menangis?" Tanya pria yang lebih tinggi datar.

Ten tersenyum lebar, tertawa hambar lalu menggeleng pelan, "Tidak, aku hanya merindukan ibuku di Thailand," katanya lalu menunduk.

Doyoung menarik tangan Ten. Memeluk tubuh ringkih sahabatnya itu lalu mengusap punggungnya pelan, "Maafkan aku," katanya.

Ten kembali terisak. Ia tak tahu kenapa Doyoung membuatnya secengeng ini, "Aku merindukan Ibuku," katanya sambil terisak. Doyoung melepaskan pelukannya. Menatap mata Ten yang sembab karena menangis cukup lama.

"Merindukan Ibumu, atau merindukan aku hm?" kata Doyoung lalu tersenyum lembut pada sosok mungil dihadapannya.

Ten menggeleng lemah. Membalas tatapan Doyoung lalu tersenyum kecut, "Bagaimana? Apa Taeil sunbae menerima perasaanmu?" Doyoung mengangguk.

Lagi-lagi dada Ten berdenyut perih. Ia sebisa mungkin tak menangis lagi, "Selamat Doyoung-ah," lirihnya lalu menepuk pundak pria yang lebih tinggi darinya.

"Taeil menerima perasaan yang pernah kusimpan untuknya dulu," Ten mengernyit.

"Dulu? Maksudmu?" tanyanya heran.

Doyoung menangkup wajah Ten, mengecup sepasang netra yang selalu mendelik kesal padanya, tapi ia suka. Doyoung tersenyum, namun Ten masih memasang wajah bingungnya.

"Iya dulu, karena sekarang aku mencintai orang lain," Doyoung mengusap pipi Ten pelan, "Aku mencintai sahabatku sendiri," sambungnya lalu mengecup bibir Ten cukup lama.

Ten memejamkan mata. Berharap yang ia dengar dan rasakan saat ini hanyalah delusi belaka. Atau bahkan saat ini ia tengah bermimpi indah setelah pingsan di toilet, fikirnya.

Doyoung melepaskan tautan bibirnya, kembali beradu tatap dengan pria mungil itu, "Aku mencintaimu Ten," bisiknya.

Pria mungil dihadapan Doyoung kembali terisak. Ia menggeleng pelan lalu menghapus kasar air matanya, "Jangan mempermainkan aku Doyoung, rasanya sangat sakit."

Doyoung menggertakkan gigi, menarik tengkuk Ten lalu menyesapi bibi bawah pria mungil itu kuat. Ten meronta, menolak ciuman Doyoung yang justru membuatnya semakin sakit dan bingung disaat yang bersamaan.

Detective Jung, Saranghaeyo! | Jaeyong ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang