Part 12: Flashback

316 24 1
                                    

Sebulir bening keluar dari mata dengan manik bewarna cokelat indah itu dan akhirnya jatuh membasahi pipi mulus bocah laki-laki itu. Dipeluknya erat-erat robot bewarna biru kesayangannya.

Tatapannya terarah ke gundukan tanah yang masih basah bertabur bunga-bunga merah. Tangan bocah laki-laki itu terulur mengelus batu nisan yang berukirkan sebuah nama, nama yang tak asing baginya, nama yang sering didengarnya.

Namun si pemilik nama kini tak bisa dilihatnya lagi. Si pemilik nama kini tak bisa lagi menemaninya, si pemilik nama kini tak bisa lagi menemaninya tidur saat bocah itu bermimpi buruk, si pemilik nama kini tak bisa lagi mengusap perutnya saat perutnya sakit, si pemilik nama kini tak bisa lagi memarahinya lagi saat bocah itu tidak mau mandi.

Karena si pemilik nama itu kini sudah nyaman berbaring di peristirahatan terakhir. Di sini sepi, hanya terdengar suara lantunan doa yang begitu merdu dari para pelayat.

Beberapa orang berbaju hitam mencoba menghibur bocah laki-laki itu namun percuma saja karena yang hanya bisa mengobati rasa perih di dada hanya mamanya yang terbaring di peristirahatan terakhir.

"Mama." hanya sebuah kata yang sejak tadi keluar dari bibir mungil bocah laki-laki itu yang diiringi isak tangis. Hatinya seolah berteriak memanggil-manggil sang Mama.

Dia bertanya-tanya mengapa Tuhan membawa Mamanya begitu cepat, dia bahkan tak bisa melihat wajah sang Mama untuk yang terakhir kalinya. Tiba-tiba selembar sapu tangan bewarna biru laut terulur ke arahnya.

Bocah laki-laki itu menghapus air mata yang sejak tadi terjatuh membasahi pipinya. Dia menoleh dan mendapati seorang anak perempuan dengan rambut lurus panjang dan poninya yang lucu menutupi keningnya.

Dengan ragu bocah laki-laki itu meraih sapu tangan bewarna biru itu. Anak perempuan itu berjongkok disebelahnya dan tersenyum manis. Senyuman itu! Entah kenapa ketika dia melihat senyuman manis itu dia merasa tenang.

Ketika melihat senyuman manis itu entah kenapa rasa sakit di dadanya berkurang seolah goresan-goresan di hati sembuh dengan sendirinya. "Verro jangan nangis! Nica gak suka lihat Verro nangis." ucap anak perempuan dengan senyuman  manis itu.

Di sisi lain Aira menatap adiknya itu. Adiknya saat ini sangatlah rapuh dan diselimuti dengan kesedihan. Dan bukannya menghibur dan mengahapus air mata adiknya dia malah hanya bisa menatap.

Sebelum Arlina meninggal, yang dilakukan Aira hanyalah belajar tanpa tau begitu terlukanya adiknya. Dia merasa gagal sebagai Kakak. Seharusnya dia berada di sana menghibur Verro.

Dan kenyataan pahit yang harus diterima Aira adalah dia telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dia sangat yakin jika Mamanya pasti sangat kecewa terhadap dirinya. Masa depan dan impiannya seakan hancur lebur. Dia adalah seorang Kakak sekaligus seorang anak yang buruk.

***
Aira melempar asal benda tipis itu. Dia harus bagaimana? Sungguh dia sangat ketakutan. Dia merangkak menjahui benda tipis itu sampai punggungnya menyentuh tembok. Tangannya gemetar ketakutan.

Dia telah membuat masalah besar yang menghancurkan masa depan dan impiannya. Di tenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya. Dia memeluk erat dirinya sendiri. Dia menangis.

Di sudut ruangan dengan wajah yang terbenam di lipatan tangannya dia menangis. Tanpa dia sadari sepasang mata mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Verro terdiam.

Ada apa dengan Kakaknya? Kenapa Kakaknya menangis? Siapa yang membuat Kakaknya menangis seperti itu? Jika Verro tau siapa Verro akan memberikan hadiah berupa pukulan untuk seseorang yang telah membuat Kakaknya menangis.

Verronica (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang