Epilog

966 26 7
                                    

Nica mengeratkan sweaternya saat hembusan angin menerpa tubuh mungilnya membuat rasa dingin itu hadir menusuk kulitnya. Dia menatap sendu gundukan tanah itu.

Di batu nisan yang sudah kusam itu terukir dengan jelas sebuah nama. Nama seseorang yang mampu membuatnya dilanda dengan rasa rindu itu.

Alverro Pratawijaya

Bahkan sampai saat ini pun dia masih mencintai laki - laki itu. Rasa itu tetap hadir di hatinya. Rasa yang mampu membuatnya menangus hampir tiap malanya.

Rasa yang mampu menjadi kebahagiaan sekaligus rasa sakit tiap kali dia mengenang sosok laki - laki itu.

Tes

Dan sebulir bening jatuh membasahi pipi mulusnya. Ini sudah dua belas tahun sejak laki - laki itu diistirahatkan di peristirahat terakhirnya.

Dan selama dua belas tahun ini lah dia tak bisa berhenti merindukan sosok laki - laki yang mampu mengacak - acak perasaannya. Sampai saat ini dia masih merindukan Verro.

Tanpa sehari pun, tanpa sedetikpun. Dia merindukan kehadiran laki - laki itu. Tiba - tiba dia merasakan pelukan hangat di tubuh mengilnya. Dia menoleh dan saat itu juga dia mendapati sosok yang berhasil membuatnya mengucapkan janji suci dan terikat pada suata hal yang sakral yang dinamakan dengan pernikahan.

Wajah tampan suaminya yang nampak ciri khas kebarat - baratan. Suaminya itu terlihat tetap tampan bahkan saat usinya sudah tiga puluhan. "Stevan," lirih Nica. Stevan membelai helaian lembut rambut cokelat Nica.

Selalu seperti ini, gadis itu selalu menangis tiap kali mereka datang ke sini. Mungkin karena ingatannya tentang sahabatnya itu kembali terngiang di pikiran istrinya itu.

Stevan menatap gundukan tanah itu. Dia juga merindukan sosok laki - laki dengan sikap dinginnya itu. Bagaimanapun Verro adalah temannya. Tentu dia juga merasakan kehilangan saat laki - laki itu menghembuskan napas terakhirnya.

Sulit baginya menerima kenyataan pahit itu saat itu. Tapi kemudian seiring berjalannya waktu dia mampu mengikhlaskan Verro. Karena itulah yang seharusnya mereka lakukan. Cukup dengan mendoakan dan mengikhlaskan.

Tanpa harus berlarut - larut dengan kesedihan terlalu dalam. Kini Stevan pun sudah dapat mengikhlaskan kepergian Verro. Tapi meskipun begitu dia tidak bisa menghapus bayang - bayang Verro di pikirannya.

Dia akan menjadikan Verro sebagai kenangannya. Stevan mengerti bahwa ini begitu sulit untuk Nica. Tentu karena wanita itu sudah mengenal Verro jauh lebih lama darinya.

Persahabatannya dengan Verro sudah dimulaui sejak wanita itu berusia delapan tahun. Stevan menyenderkan kepala Nica ke dada bidangnya. Dia membelai lembut rambut Nica.

"Sudah mendung, kita pulang yuk!" Ucap Stevan lembut. Nica mendongak menatap langit. Kini warna langit itu mulai menjadi abu - abu gelap. Langit sudah mendung. Mungkin sebentar lagi akan hujan.

Nica mengangguk. Benar apa kata Stevan. Dia harus pulang jika mereka tak ingin diguyur air dari langit. "Mama kenapa selalu nangis kalo datang ke sini? Jangan nangis Mah! Om Alverro udah bahagia kok di surga sana." Ucao seseorang tiba - tiba dengan suaranya yang terdengar imut.

Nica melepaskan pelukannya pada Stevan lalu menatap seorang bocah laki - laki berdiri tak jauh dari sana. Nica sempat terkejut saat itu. Dari mana bocah itu tau tentang Verro? Dia bahkan tak pernah cerita apapun tentang Verro kepada bocah polos itu.

Mungkin karena tiap tahun mereka datang ke sini dan Nica selalu menangis. Juga karena nama yang terukir di nisan itu. Bocah laki - laki itu sudah dapat menyimpulkan semuanya.

Bahwa Mamahnya sedih karena ditinggalkan orang yang berarti baginya. "Kata Ibu guru, di surga itu enak loh Mah. Kita bisa minta apa aja yang kita pengenin, jadi Mamah gak perlu sedih karena pasti Om Alverro sudah bahagia di sana." Ucap bocah laki - laki itu lagi.

Nica tersenyum menatap buah hatinya itu. Sepertinya anaknya itu jauh lebih dewasa ketimbang dirinya.
Memang betul apa yang dikatakan anaknya itu. Dia harus bisa mengikhlaskan kepergian Verro karena bagaimanapun Nica yakin bahwa Verro sudah tenang dan bahagia di sana.

Stevan berjongkok mencoba mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan tubuh anaknya itu. Stevan membelai lembut kepala anaknya itu.

"Astaga ternyata kamu jauh lebih dewasa ketimbang Mamah kamu. Bilang dong ke Mamah jangan nangis lagi! Nanti cantiknya hilang." Ucap Stevan dengan nadanya yang terdengar lucu.

Bocah itu mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan Papanya. "Iya, Mama jangan nangis lagi! Nanti cantiknya hilang!" Ucap bocah itu membuat Stevan dan Nica gemas dengan tingkah polosnya.

Stevan mencubit gemas pipi tembam buah hatinya itu. Lantas dia menggendong anaknya itu. Dia menoleh menatap Nica. Dia mengukurkan tangannya. "Ayo sayang!" Ucapnya.

Nica menatap uluran tangan Stevan. Dengan senyuman di wajahnya lantas dia meraih uluran tangan itu. Tangan mereka saling menggenggam erat seolah mereka tak ingin terpisahkan.

Lalu Stevan melangkah diikuti dengan langkah kecil - kecil Nica. Mereka bertiga pergi meninggalkan makam Verro dengan rasa ikhlas yang kini sudah ada di hatinya. Nica memandang wajah Stevan dan kemudian wajah anaknya itu.

Mereka terlihat bercanda. Nica tersenyum. Inilah kehidupannya yang sekarang. Bersama Stevan dan buah hatinya itu. Merekalah sumber kebahagiaan Nica. Dan Verro adalah kenangan baginya yang tak akan pernah bisa dilupakannya.

Nica sudah bahagia sekarang. Walaupun tak ada Verro di sampingnya. Tapi ada keluarga kecilnya yang mampu menciptakan kebahagiaan di hidupnya. Walau masih terasa sakit tiap kali mengingat Verro.

Tapi perlahan rasa sakit itu terobati dengan ikhlas. Dia cukup mengikhlaskan dan mendoakan Verro dan menjalani kehidupan bahagianya dengan Stevan dan anaknya itu. Dia sudah bahagia dengan kehidupannya yang sekarang.

Dan Nica yakin Verro pun begitu. Verro pasti sekarang sedang tersenyum menatap mereka dari surga.

The end

Verronica (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang