Bab 1

47.1K 2.2K 387
                                    

Suara pecahan, teriakan, amarah, hingga makian adalah suara yang sudah tidak asing lagi Ralaya.

Pertengkaran orang tuanya tampaknya sudah menjadi kebiasan tidak mengenal pagi, siang, bahkan malam sekalipun dia masih tetap mendengarnya.

Ralaya menghembuskan napas kasar berusaha tidak peduli pada apa yang dia dengar. Dia pun berjalan berjalan menuju meja makan.

Kosong.

Tidak ada apa-apa disana. Bahkan segelas susu pun tidak ada.

Hey! Apa mamanya terlalu sibuk bertengkar sampai lupa membuatkan sarapan untuknya?

Dia benar-benar lapar, terlebih Ralaya melewatkan makan malamnya semalam.

Gadis itu pun duduk di meja makan dan mengambil ponsel disakunya. Jari-jarinya mulai bergerak lincah menari di layar ponsel.

Sembari menunggu, dia pun mencoba mengalihkan perhatiannya pada game di ponselnya. Setelah hampir sepuluh menit, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi di ponselnya. Ralaya pun mengulas senyum dan mulai menggendong tasnya.

“Aya, kamu berangkat sekarang?”

Ralaya hanya bisa mengangguk sebagai jawabannya. Moodnya di pagi ini sangat jelek.

“Maaf mama gak sempat buatin kamu sarapan,” kata mamanya merasa bersalah. Dia sampai tidak ingat bahwa anak satu-satunya ini harus sarapan dan berangkat ke sekolah. “Bentar, mama buatin kamu roti dulu.”

Ralaya menggelengkan kepalanya. “Gak usah. Aya buru-buru, Mah.”

“Kasihan anak papa harus sarapan di sekolah lagi,” kata papanya sambil mengusap pundak Ralaya lembut. “Mama kamu terlalu sibuk nuduh papa sampe-sampe gak sempet buatin sarapan buat kamu.”

Mata Mila–mama Ralaya–membelalak kaget. Dia seolah tidak terima dengan tuduhan suaminya ini. “Justru ini semua gara-gara kamu, Pah! Kalo bukan karena kelakuan kamu, aku gak mungkin–”

Ralaya menyumpal telinga dengan jari tangannya. Dia langsung melengos pergi, bahkan tanpa pamit dan mencium punggung tangan kedua orangtuanya.

Dia tahu ini semua seperti tidak berguna karena setelahnya pun Ralaya masih bisa mendengar perdebatan mereka lagi.

Gadis itu berjalan agak cepat, begitu dia sampai di gerbang, dia melihat sosok cowok dengan seragam yang berbeda dengannya sedang berjalan menghampirinya.

“Dev,” kata Ralaya sambil memeluk lengan cowok itu. Cowok yang sudah setahun ini menjadi pacarnya. Meskipun keduanya tidak satu sekolah, itu nampaknya bukan suatu masalah besar.

Bibir ranum Ralaya mengerucut kesal.  Entalah, rasanya dia sudah kehilangan semangat.

Melihat gadisnya yang sedih dan murung, Dev pun mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Pasti gadisnya tengah ada masalah.

“Kenapa?”

Ralaya menggelengkan kepalanya. Dia malas membicarakannya. Meskipun pertengkaran itu adalah hal biasa bagi Ralaya, tapi tetap saja dia tidak suka melihatnya.

“Ayo berangkat sekarang,” pinta Ralaya lesu.

Dev termenung sejenak, menatap gadisnya tepat di iris hitamnya. Dia yakin kalau gadisnya tidak dalam keadaan baik-baik saja.

“Oke,” kata Dev lalu dia mulai membawa Ralaya masuk ke dalam mobilnya.

Selama diperjalanan, gadisnya nampak diam. Dev bahkan sesekali melirik gadisnya.

[I] Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang