Setelah part kemarin dari sisi Dev, part ini adalah sisi dari Ralaya.
•••
Hari ini terasa panjang dan melelahkan.
Putaran waktu di jam dinding bahkan seolah melambat hingga rasanya Ralaya muak menjalani sisa hari.
Bohong kalau dia baik-baik saja. Sekelebat ingatannya tentang kejadian kemarin masih membekas di benaknya dan rasanya memang sakit
Dia pernah membaca kalau orang yang kita sayangi memang orang yang paling berpotensi membuat kita terluka juga bahkan disaat yang bersamaan.
Terlebih dengan Ralaya yang menggantungkan hampir seluruh hidupnya pada Dev, merasakan luka paling nyata selain dari luka yang diberikan orangtuanya.
Kenapa Dev menyerah padanya?
Kenapa Dev menyuruh dia pergi ke Psikiater?
Padahal Ralaya hanya membutuhkan Dev.
Dia ingin Dev.
Baginya, Dev sudah jadi Psikiaternya.
Ralaya merasa akan baik-baik saja kalau Dev ada disisinya.Tapi yang namanya manusia, mereka punya batasnya masing-masing.
Mungkin Dev mulai muak hingga akhirnya lelah dan menyerah pada dirinya.
Kini dia tak percaya lagi jika Dev mengatakan 'I'm here'.
Kata-kata itu tak ubahnya tampak seperti bualan saja karena Dev yang tak menepati omongannya sendiri.
Dulu, Dev selalu bilang kalau Ralaya harus menatap ke arahnya disaat dunia mengacuhkannya.
Tapi jika itu terjadi sekarang, bagaimana bisa dia menoleh pada Dev lagi?
Cowok itu sendiri yang menyerah pada dirinya dan Ralaya merasa diacuhkan oleh keduanya.
Dia hanya bisa memeluk dirinya sendiri dan berdiri dengan kedua kakinya karena kini dia merasa dipecundangi.
Ralaya mengusap air matanya, dia lalu segera meraih tisu untuk membersihkan noda darah di lengannya.
Setelah selesai, dia lalu meraih jaket yang tergantung lalu memakainya untuk menutupi bagian atas piyama nya. Tak lupa mengambil beberapa lembar uang yang dimasukannya ke dalam saku jaket.
Dia membawa tungkainya berjalan menuruni tangga dan langsung bertemu dengan sang mama yang tengah menonton tayangan di televisi.
“Aya mau—kamu habis nangis? Kenapa? Trus sekarang mau kemana? Ini udah malem.”
Wow.
Itu rekor baru setelah sekian lama. Mamanya menanyakan beberapa pertanyaan dengan bertubi-tubi padanya.
Harusnya Ralaya senang, tapi moodnya sedang kacau sekarang dan dia sedang tidak berselera untuk berdebat.
Bahkan dia tidak peduli saat sang mama yang berjalan menghampirinya.
“Baru jam delapan, mau ke minimarket.”
KAMU SEDANG MEMBACA
[I] Ralaya ✔
Teen FictionAku yang sedang frustasi saat ini hanya duduk bersandar di sudut ruangan. Air mata sialan ini terus saja mengganggu pandanganku. Tangan kanan-ku memegang sebuah cutter yang selama beberapa bulan ini telah menjadi teman setiaku. Dengan yakin, aku mul...