Keduanya tengah duduk di kursi hitam yang empuk, saling berhadapan. Menyandarkan kepala mereka ke samping.
Ralaya menaikkan kedua kakinya ke kursi dengan tangan kecilnya menggengam jemari Dev erat.
Iris hitamnya tak pernah lepas menatap luka Dev yang sudah di obati dengan tatapan sendu.
“Maaf, Dev,” ucap gadis itu dengan penuh rasa bersalah.
Sayatannya begitu memanjang, padahal saat dia selfharm saja tidak pernah sepanjang ini.
Meskipun wajah Dev terlihat datar saat dia mengobati lukanya, Ralaya bisa melihat kalau Dev menahan rasa perihnya dan pasti itu rasanya sakit luar bisa.
Kalau saja papa dan Angel tidak nekad datang kesini, pasti kekacauan ini takkan terjadi dan Dev takkan terluka.
Ralaya bahkan tidak tahu apakah papanya dan Angel masih disini atau tidak.
Cowok itu menghembuskan napas lelah. “Kamu udah bilang gitu ribuan kali.”
“Maaf,” gumam gadis itu lagi sambil merunduk, memainkan jemari Dev dengan asal.
Dev tersenyum tipis. Gadisnya tampak sedih dan murung setelah kejadian tadi.
Dia juga nampak masih terkejut dan terus mengucapkan kata maaf berkali-kali hingga rasanya Dev bosan.
Padahal dia sendiri sudah memaafkan dan ini bukanlah masalah yang besar baginya. Ralaya juga tidak sengaja melakukannya.
Dia membawa tubuh gadis itu agar mendekat lalu tangan yang dibalut perban itu dibawa melingkar di pinggang gadisnya, memeluknya dari samping.
“Gakpapa, lagian ini cuma tangan kanan,” kata Dev lembut.
Matanya masih betah menatap wajah Ralaya yang muram dengan lamat-lamat. Jejak air mata itu bahkan masih membasahi kedua pipinya.
Gadis itu mendongak lalu menatap Dev dengan bingung.
Cowok itu tersenyum. “Kamu lupa kalo aku kidal?”
Bibir mungil itu mengerucut kesal. “Aku gak lupa, tapi meskipun kamu kidal, kamu tetep pake tangan kanan buat makan sama minum, kan?”
Dev mengangguk dan itu malah membuat Ralaya semakin merasa bersalah. Dia jadi makin menyulitkan Dev.
“Bub, aku cuma kena luka gores bukannya patah tulang,” kata Dev sambil tertawa agar membuat atmosfer jadi lebih santai. “Besok juga sembuh.”
Gadis itu mau tidak mau menganggukan kepalanya. “Ma—”
Dengan cepat Dev kembali mengecup bibir gadis itu hingga membuat Ralaya sedikit terkejut.
“Kalo minta maaf lagi, nanti aku cium.”
Lampu imajinernya menyala, membuat bibir gadis itu melengkungkan kurva membentuk sebuah senyuman di bibirnya.
“Maaf.”
Cup.
“Maaf.”
Cup.
“Maaf, Dev.”
Cup.
“Maaf, maaf, maaf, ma—”
Dev kembali membungkam bibir gadis itu dengan bibirnya untuk kesekian kalinya.
Gadisnya jahil sekali.
Tapi tak apa, ini lebih baik daripada Ralaya yang terus menyalahkan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[I] Ralaya ✔
Teen FictionAku yang sedang frustasi saat ini hanya duduk bersandar di sudut ruangan. Air mata sialan ini terus saja mengganggu pandanganku. Tangan kanan-ku memegang sebuah cutter yang selama beberapa bulan ini telah menjadi teman setiaku. Dengan yakin, aku mul...