Dev dibesarkan untuk menjadi laki-laki yang memiki masa depan yang cerah. Tumbuh secara terpelajar dengan otak yang pintar, seperti mama dan papa.
Meskipun tak jadi murid yang aktif di sekolah, nyatanya guru-guru tetap menjulukinya dengan sebutan ACE.
Dev yang selalu mengatakan lebih suka hitungan daripada hafalan, nyatanya menurut murid-murid lain dia justru pandai dalam kedua hal itu.
Dev tak perlu jadi anggota OSIS atau Ketos untuk jadi cemerlang. Tak perlu jadi kapten tim basket agar digilai oleh siswi-siswi. Tak perlu jadi badboy agar jadi idaman. Tak perlu jadi nerd tampan yang bersembunyi dibalik kacamata tebal untuk dapat kesan misterius dan Dev tak perlu punya jutaan pengikut di Instagram berisikan wanita-wanita cantik untuk jadi terkenal.
Dia hanya jadi dirinya sendiri.
Dibanding tebar pesona, dia justru sangat jauh dari hal itu.
Kanebo kering kalau kata Rio.Dev bukan tipe talkative sekali pun bergaul dengan Rio yang receh dan social butterfly. Ditambah dia memang payah perihal berinteraksi sosial hingga tak jarang saat awal-awal dia disebut sosok yang apatis.
Temannya yang dekat hanya bisa dihitung jari. Mungkin untuk sekarang hanya Rio dan Niko? Sisanya ya hanya sebatas teman sekolah.
Tapi meskipun seperti itu, eksistensi Dev begitu mencolok. Dia sangat terlihat. Tatapan penuh kagum selalu menyorot ke arahnya. Dev hidup dalam pujian dan bersinar dengan caranya sendiri.
Diluar tentang betapa hebatnya otak Dev, orang-orang pun menyukai perihal cowok itu di kesehariannya.
Masih dibangku SMA tapi sudah hidup di apartemen, sendirian pula. Bagi mereka itu adalah lambang kebebasan.
Fanatik pada Marvel dengan hobi yang tak main-main, membuat mereka iri saat melihat hot toys yang begitu beragam dan banyak terpajang rapi disebuah lemari kaca khusus.
Bagi mereka, hidup Dev terasa menyenangkan dan sangat mudah dijalani.
Nyatanya posisi Dev tak setinggi itu. Dev tidak bisa seperti langit biru yang selalu menenangkan lagi. Sekarang dia tampak seperti langit malam. Begitu gelap, kelam, sendirian.
Siapa yang akan menyangka dibalik sosoknya yang begitu disembah-sembah guru karena otak yang cerdasnya ini adalah seorang pengidap PTSD?
Siapa yang menyangka jika sosoknya yang dianggap lambang kebebasan dengan hobi yang mahal mempunyai kondisi mental yang tak stabil?
Bukankah ini terlalu mengerikan?
Dengan dibalut kemeja putih yang dipadukan celana denim dan sepatu, Dev kembali datang untuk kesekian kalinya.
Tanpa bosan.
Cuaca sore ini masih nampak cerah, tak ada tanda-tanda seperti akan turun hujan. Seolah semesta memang merestui tindakan Dev.
Seperti hari-hari sebelumnya, Dev hanya sendirian disini. Tapi tak apa, itu tak membuatnya takut. Justru dia merasa lega jika tidak ada seorang pun disini.
Setidaknya, dia bisa leluasa mencurahkan hal-hal yang selalu menyesakkan dadanya. Bahkan Dev pernah hanya diam disini hampir dua jam. Kalau saja tak ada Rio yang menelponnya, mungkin Dev akan terus disini sampai langit berubah gelap.
Sejujurnya setiap dia mengajukan sebuah tanya, Dev tak mendapat jawaban apapun. Dia hanya bertemankan sepi atau menganggap suara daun yang tertiup angin adalah jawabannya.
Iris hazelnya selalu tanpa sadar berbinar gemerlapan saat dia membicarakan hal-hal yang membuat suasana hatinya membaik dengan senyum yang terpatri di wajah tampannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[I] Ralaya ✔
Teen FictionAku yang sedang frustasi saat ini hanya duduk bersandar di sudut ruangan. Air mata sialan ini terus saja mengganggu pandanganku. Tangan kanan-ku memegang sebuah cutter yang selama beberapa bulan ini telah menjadi teman setiaku. Dengan yakin, aku mul...