Terhadap apa yang sudah dia lalui. Terhadap apapun yang sudah dia lakukan.
Rasanya sama saja.
Tidak berguna.
Semua sia-sia.
Dia tidak suka saat papanya salah paham. Papanya datang di saat yang tidak tepat. Yang papanya lihat hanya dirinya yang menampar wanita itu hingga jatuh, tanpa mengetahui bahwa wanita itu yang lebih memulai semuanya.
Tanpa mengetahui fakta kalau dirinya hampir saja mati tercekik, hampir mati sia-sia di tangan lentik wanita itu.
Sampai sekarang, dia bahkan masih mengingat jelas seringai tipis itu. Seringai Angel yang begitu menyeramkan, membuat dirinya ngeri sendiri.
Juga, wanita itu begitu licik. Berhasil memutar fakta. Menekankan bahwa dirinya lah yang bersalah atas pertengkaran itu dan Angel yang menjadi korban.
Terbukti dari papanya yang bahkan mendorong tubuh kecilnya karena tubuh Ralaya yang menghalangi Angel.
Pria paruh baya itu terlihat sangat-sangat khawatir. Begitu frustasi saat melihat Angel yang menangis memegang pipinya.
Ralaya akui, tamparan yang dia lakukan memang sekuat tenaga karena she deserve it. Lagi pula ditampar saja takkan membuat Angel mati. Itu tidaklah seberapa dibanding dirinya yang hampir kehabisan oksigen.
Tatapan papanya begitu sendu saat menatap Angel tapi berubah bengis saat melihatnya.
Tatapan yang sama saat papanya marah besar gara-gara dia yang memainkan piano di malam hari, saat kedua orangtuanya tengah berdebat seperti biasanya dan berakhir dengan dirinya yang terbanting ke lantai karena sebuah tamparan.
Seperti de javu.
Tamparan itu dia rasakan untuk kedua kalinya.
Tapi kali ini terasa berbeda. Dia merasa everything seems numb.
Saking numb-nya, dia bahkan sampai tidak bisa menangis. Hanya bisa diam, membiarkan Dev menarik tubuhnya ke belakang.
Lalu tiba-tiba kesadarannya seolah kembali dan dia langsung melihat papanya yang tengah menggenggam tangannya, dengan tatapan sendu, hampir menangis.
Dia bisa melihat sorot penyesalan di mata sang papa.
Inginnya dia menyuruh papanya bangun, jangan sampai menekuk lutut demi mendapatkan kata maaf darinya.
Tapi tanpa diduga alam bawah sadarnya, seperti memberi beberapa kilasan. Menunjukan raut bengis papanya yang selalu menatap dirinya dan sang mama dengan tajam. Semua teriakan itu seperti terngiang kembali di indera pendengarannya dan yang terakhir papanya yang kasar.
Itu membuatnya takut.
Amat sangat.
Papanya menjadi abusive sekarang.
Tangannya gemetaran, kedua matanya terus berlarian, enggan menatap sang papa yang memohon maaf padanya.
“Happy father's day.”
Hanya itu yang terakhir kali dia ucapkan pada papanya.
Saat itu dia memang ingin memperbaiki hubungannya dengan sang papa, tepat di hari ayah. Tapi mirisnya itu hanya harapan semu. Berubah menjadi kejadian yang tidak terduga.
“Menjauhlah dari milikku, dia tidak membutuhkan seorang ayah yang kasar seperti anda.”
Kata-kata Dev saat itu masih terngiang di benaknya, sampai sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[I] Ralaya ✔
Teen FictionAku yang sedang frustasi saat ini hanya duduk bersandar di sudut ruangan. Air mata sialan ini terus saja mengganggu pandanganku. Tangan kanan-ku memegang sebuah cutter yang selama beberapa bulan ini telah menjadi teman setiaku. Dengan yakin, aku mul...