Di dalam kamar yang gelap, ada tubuh mungil yang bersembunyi dibalik hangatnya selimut.
Lengan mungilnya memeluk guling erat. Seolah takut guling ini akan hilang dari pelukannya. Mereka tidak mau dipisahkan. Terlebih alam mimpi sudah membawanya terlalu jauh.
Membawa gadis itu ke mimpi yang indah.
Tapi disaat potongan mimpi itu mulai menjadi cerita yang panjang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu beberapa kali. Memekakan telinganya.
“Aya, bangun. Mama udah siapin sarapan.”
Tidurnya memang sedikit terganggu tapi gadis itu masih memejamkan matanya. Berusaha meneruskan mimpinya yang sempat terpotong.
Srettt
Mila membuka gorden kamar puterinya dan membuka jendela. Membiarkan hangatnya matahari masuk ke dalam kamar puterinya.
Dahi Ralaya mengernyit. Cahaya itu begitu pas menyinari matanya. Dia pun menghalau sinarnya dengan guling.
“Nanti sarapannya keburu dingin lho.”
Ah gagal sudah usahanya. Mimpinya mulai memudar dan Ralaya tidak bisa melanjutkannya. Pelan-pelan dia membuka kelopak matanya, menyesuaikan dengan cahaya matahari.
Disana ada mamanya yang sedang membereskan tumpukan beberapa boneka yang jatuh ke lantai.
“Bangun, sayang.”
Ralaya menggeliat, meregangkan tangannya. Tumben sekali tidur kali ini nyenyak padahal dia baru saja tidur jam tiga subuh.
“Tapi ini hari libur, Mah.”
“Terus kenapa?” tanya Mila polos. Ah mamanya ini seperti tidak pernah tahu saja kebiasaan seorang pelajar di hari libur. “Ayo sarapan. Masa mama sarapan sendiri?”
Ralaya tersenyum kecut. Baru saja bangun dan masih mengumpulkan nyawa tapi dia kembali ditampar kenyataan.
Padahal dia selalu berpikir jika ini semua hanya mimpi dan kenyataan buruk ini akan hilang di esok paginya.
“Kasurnya posesif banget nih. Gak mau Aya tinggalin. Gimana dong?” tanya Ralaya sambil memeluk guling, menatap mamanya geli.
Mila hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Duh kamu ini. Yuk cepet mama tunggu di bawah, ya. Jangan lupa gosok gigi.”
“Siap, Bos,” balas Ralaya begitu mamanya melangkah pergi menjauh dari kamarnya. Buru-buru dia membereskan kamar lalu gosok gigi seperti perintah mamanya.
Iya, kebiasaan sih. Jika dihari libur, Ralaya memilih mandi di sore hari atau jika ada yang mengajaknya pergi keluar saja.
Di meja makan sudah tersiap sarapan yang di sediakan mamanya. Ralaya langsung menyeruput susu cokelatnya lalu menerima piring yang sudah diisi dengan lauk pauk oleh mamanya.
Terdengar nada dering ponsel yang ada disamping mamanya. Membuat Mila harus menghentikan aktifitasnya sejenak untuk menerima telepon.
Ralaya sendiri asyik melanjutkan sarapan sambil berpikir, kenapa papanya tidak ada menelponnya sampai sekarang?
Ini bahkan sudah hampir sebulan sejak orangtuanya bercerai.
Jangan pernah berpikir kalau Ralaya yang akan memulai komunikasi dengan papanya. Dia hanya masih kecewa.
Tapi, jika papanya menelpon lebih dulu, dia takkan ragu untuk mengangkatnya.
“Ah iya jadi gimana, Vi?”
Oh tante Vivi. Batin Ralaya.
Disela-sela sarapannya, dia ikut menyimak isi percakapan mamanya dengan tante Vivi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[I] Ralaya ✔
Novela JuvenilAku yang sedang frustasi saat ini hanya duduk bersandar di sudut ruangan. Air mata sialan ini terus saja mengganggu pandanganku. Tangan kanan-ku memegang sebuah cutter yang selama beberapa bulan ini telah menjadi teman setiaku. Dengan yakin, aku mul...