Bagi orang lain, pagi adalah musuh mereka. Matahari untuk beberapa orang adalah halangan terbesar untuk beranjak dari kasur. Semilir kesejukan yang menerpa kota seolah menjadi alasan untuk mereka tetap terlelap.
Apalagi sekarang hari Senin dimana itu adalah awal dari segala aktivitas rutin yang harus dilakukan. Mereka yang memiliki kewajiban sebagai umat manusia untuk menjalani hidup atau memenuhi kebutuhan selalu berharap bahwa hari Sabtu & Minggu tidak pernah berjalan cepat.
Sayangnya hari libur selalu terasa berjalan lebih cepat. Ketika kita menikmatinya maka dalam sekejap mata seolah sudah selesai dan memulai kembali pada kesengsaraan.
Tapi bagi Ilman, pagi justru menjadi penyemangat diri untuk memulai hari. Dimana dimulai dengan membuka ponsel untuk mengecek segala informasi yang sedang terjadi, lalu beranjak ke kamar mandi sembari menyalakan musik.
Membuat sarapan sederhana, entah itu roti lapis atau nasi goreng dengan telur. Hidup seorang diri tanpa orang tua yang sudah tiada di rumah kontrakan memang cukup menjadi beban, tapi pikiran positif serta keyakinan yang besar membuat Ilman bisa bertahan.
Mobil tua milik sang Ayah diwariskan untuknya ketika baru masuk kuliah dan hingga sekarang—ketika dirinya sudah menjadi pegawai kantor, masih dipakainya.
Bahkan pendingin udara serta radionya masih berfungsi dengan baik. Meskipun terkadang ada saja masalah di mesin, tapi Ilman tidak pernah terpikir untuk menjualnya.
Selain karena dia belum mampu mengganti yang baru, baginya ini adalah satu-satunya harta benda peninggalan Ayah. Sementara Ibunya memberikan sebuah cincin perak polos tanpa permata, namun terukir nama Ilman di sisi dalamnya.
Bagi sang Ibu, Ilman adalah permatanya yang lebih berharga dari batu mulia manapun di dunia ini. Selama masih hidup, beliau tidak pernah melepas cincin tersebut. Namun beberapa hari sebelum wafat, beliau memberikannya pada Ilman dan berpesan untuk menyimpannya dengan baik.
"Kampret! Mogok lagi." Sudah kedua kalinya di bulan ini, mobil yang dikendarainya berhenti tiba-tiba di tengah jalan.
Dan bukannya belajar dari pengalaman untuk mengerti mesin—sampai sekarang sebagai seorang pria, Ilman sama sekali tidak paham mengenai hal ini.
Tiap mogok, dia selalu menelfon montir untuk mengambil mobil dan dibawa ke bengkel langganan.
Sialnya sekarang, ponselnya tidak dibawa. Dia lupa bahwa benda itu masih tergeletak di kamar mandi.
Satu-satunya yang bisa menurunkan mood Ilman adalah mogoknya mobil ini. Ditambah sekarang dia tidak tau harus bagaimana, karena di sekitar sini tidak ada bengkel.
Membuka kap mesin seolah tau apa yang akan dilakukan, Ilman hanya memandang berharap mobil ini akan nyala sendiri.
"Mogok ya, Bang?"
Suara itu masuk ke dalam pendengaran Ilman. Agak berat dan serak namun cukup seksi walaupun dia belum melihat wujudnya.
Sial, Ilman mulai kambuh. Tidak bisa menahan diri jika ada sesama jenis yang bisa menarik sisi nakalnya. Jangan tanya lagi bagaimana orientasi Ilman, karena dia tidak akan pernah menjawab.
"Ya kalo dalam keadaan begini menurut Mas gimana?" Tanpa melihat siapa yang menghampiri, Ilman menjawab sok malas.
"Boleh saya liat?"
"Kalo liat doang daritadi saya juga lakuin itu. Percuma Mas, gak bakal hidup nih mobil kalo dipelototin doang." Mood Ilman semakin rusak jika disaat seperti ini ada orang yang mengganggunya dan pakai basa-basi. Tidak peduli jika menurutnya suara si 'Mas' ini cukup menggoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...