percakapan hingga larut malam

5.7K 608 71
                                    

"Terus cincin yang lo beli gimana, Pe? Sayang dong, buang-buang duit aja." Bukannya kasihan dengan nasib Petro, ucapan pertama yang keluar dari mulut Barnes adalah soal cincin yang sia-sia.

"Alesan dia minta putus apaan, Pe?" Tanya Ilman.

Karena aneh juga, Petro dan pacarnya ini sudah pacaran selama lima tahun. Dalam kurun waktu itu, mereka jarang bertengkar hebat yang mengarah ke kata putus.

Tapi ini tidak ada angin atau hujan, tiba-tiba mereka putus secara sepihak. Tentu ada kejanggalan dalam perpisahan mereka, entah ini kesalahan Petro tanpa disadari atau memang ada sesuatu dengan pacarnya.

"Katanya gue bukan laki-laki pantes buat dia."

Mendengar itu, timbul kecurigaan pada Ilman. "Masa udah selama ini kalian pacaran, dia baru ngerasain gak pantesnya sekarang?"

"Ya itu sih namanya dia selingkuh." Cetus Barnes.

Simpelnya mungkin seperti itu. Karena apalagi yang membuat pasangan pisah selain selingkuh atau merasa sengsara secara batin? Harta? Mereka tidak mempermasalahkan itu, lagipula pacar Petro bukan perempuan matre. Kekerasan? Bahkan untuk mencium saja, Petro izin dulu dengan hati-hati.

"Gue gak pernah nemu hal yang mengarah kesana. Isi hapenya juga cuma online shop, temen gengnya, sama gue." Jelas Petro.

"Bisa aja gak lewat hape. Ketemu langsung misalnya?" Barnes senang sekali memanas-manasi dalam situasi yang redup seperti ini.

"Terus mereka komunikasi lewat mana?" Ilman ingin sekali menjewer bibir Barnes, bukannya menenangkan Petro—malah membuatnya semakin gelisah.

"Ya kan bisa aja selingkuhannya itu tetangganya atau temen kerja yang tiap hari ketemu."

Penjelasan Barnes masuk akal dan sebenarnya bisa diterima. Tapi Petro tidak ingin menelan itu mentah-mentah karena tidak ada buktinya.

Lila—nama pacar Petro—bukan tipe perempuan yang bisa menyimpan rahasia. Mulutnya yang ramai dan ceriwis itu kadang suka gatal kalau disuruh bungkam. Bukan berarti comel, tapi memang Lila bukan orang yang tepat untuk diberitau hal yang pribadi.

"Dia ada sahabat cowok, Pe?" Tanya Ilman lagi.

"Gue gak tau sih, yang sering gue liat ya dia selalu komunikasi atau jalan sama temen segengnya itu."

"Dia kan punya adek, Pe. Lo tanya aja, kali aja dia pernah atau bahkan tau Lila sama cowok lain." Suruh Barnes.

Ilman pusing sendiri menanggapi masalah temannya. Masalah hidupnya yang tidak lurus saja sudah sulit, ini lagi harus mendengar rumitnya sebuah hubungan.

Apa Ilman tidak usah punya pacar? Tidak usah kembali ke jalan yang benar dan menikah? Jomblo sampai mati? Pertanyaan-pertanyaan itu sekarang berkecamuk di pikiran.

"Heh!" Barnes melempar minuman kaleng yang telah habis. "Bengong mulu lo ya akhir-akhir ini."

"Sakit anjing, ujungnya kena kepala gue." Ilman mengelus keningnya.

"Kenapa sih? Gak ada pacar aja belagak susah hidup lo." Ucap Petro.

Ilman mendesah. "Gue lagi mikir sekarang setelah denger masalah lo, Pe. Kayanya buat punya satu hubungan itu langkah yang sulit buat gue, kaya bakal banyak rintangan yang mungkin gak bisa gue lewatin."

"Ya makanya harus ada kerja sama dari dua belah pihak, kalo lo yang berjuang doang sih beban namanya." Ujar Barnes.

"Nah kalo kaya Lila? Ngelepasin status gitu aja tanpa omongan dulu, kan lebih sakit dibanding kita putus karena ada masalah."

Unforgettable, every second of itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang