"Jangan tunggu di depan gerbang kantor, agak maju dikit." Begitulah isi pesan yang ditujukan pada Arik.
Ilman membereskan mejanya sebelum pulang. Membuang beberapa lembar kertas tidak penting dan menata kembali semua benda yang berantakan.
Memang kalau soal kerapian Ilman adalah juaranya. Bahkan perempuan sekali pun jarang ada yang bisa serapi dirinya. Baik dalam berpakaian maupun isi kamar atau meja kerja seperti ini.
"Gue duluan, semua!" Teriak Ilman dan disambut kembali oleh teman-temannya yang lain.
"Buru-buru amat, Man?" Barnes masih harus menyelesaikan pekerjaannya.
"Mau ke bengkel, cek mobil." Ilman berjalan menuju ruang kerja Petro dan berpamitan padanya.
Segera dia turun ke lantai dasar dan menyapa satpam yang berjaga di lobby. Keramahannya pada orang yang sudah dikenal ataupun yang hanya sekedar berpapasan, membuat orang di sekitar menyukai karakter Ilman.
Keluar dari gerbang, kepalanya menoleh kanan kiri untuk mencari Arik. Dia menyipit ketika melihat motor vespa yang dicat hitam dope itu. Tapi si pemilik entah ada dimana.
Lalu pandangannya beralih pada seorang anak berseragam SMA yang ditutupi dengan jaket denim yang sudah dikenal Ilman. Kenapa dia bisa tau? Karena hanya jaket Arik yang banyak tulisan tidak jelas di lengan kanannya.
"Udah bisa nyari duit sendiri jadi bebas ya mau beli rokok juga." Tegur Ilman.
Arik yang baru saja membakar rokoknya menoleh. "Iyalah, kalo masih minta sama orang tua sih mending gak usah ngerokok, beli makan biar kenyang."
Karena menurut Arik, ketika kita sudah punya penghasilan sendiri itu bebas mau dibelikan apa saja. Tapi kalau masih minta orang tua, tidak usah banyak gaya beli rokok, minuman atau semacamnya.
"Ayo cabut." Ilman menarik ujung jaket Arik.
"Kenapa sih? Nyantai aja kali."
"Keburu malem, Rik. Buruan ah."
Arik yang melihat Ilman agak bertingkah seperti anak-anak malah menarik sudut bibirnya. Karena menurutnya Ilman masih cocok bekelakuan seperti itu, wajahnya masih begitu mendukung.
"Iya, iya. Bentar bayar rokoknya dulu."
Setelah itu mereka meninggalkan area kantor dengan Ilman yang memperhatikan sekitar selagi motor berjalan.
Di jam pulang kantor memang jalanan akan kejam, jadi mereka terpaksa harus menikmati itu semua. Debu dari truk yang seharusnya baru keluar tengah malam, asap knalpot dari mikrolet dan kopaja, juga bau dari kali yang kadang suka menusuk hidung.
"Lo dari sekolah langsung ke kantor?" Tanya Ilman yang suaranya nyaru dengan bisingnya klakson kendaraan yang bersautan.
"Iya, takutnya kalo pulang malah males keluar lagi. Jadi tadi nongkrong dulu sampe sore baru jemput lo."
"Nongkrong dimana?" Sebenarnya tidak penting juga untuk tau, tapi Ilman bertanya begitu saja.
"Warung deket sekolah."
"Basecamp ya?"
"Ya gitu deh." Kekeh Arik.
Karena setiap anak sekolah pasti punya tempat kumpul tertentu—yang pastinya murah dan bisa menghabiskan waktu disana.
Ilman dulu juga punya tempat andalan, jangan salah—walaupun luarannya seperti tidak suka nongkrong, tapi justru Ilman paling sering. Bahkan sampai malam hari dan dimarahi oleh Ibunya. Kalau Ayah tidak begitu peduli, karena beliau dulu juga seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...