Hujan mendera kala pagi menyambut para penghuni bumi yang baru saja mulai membuka mata. Deruan hawa dingin yang masuk lewat celah jendela membuat salah satu pria yang sedang merasakan kebimbangan dalam diri—menenggelamkan diri pada selimutnya.
Awalnya Ilman menganggap kalau perasaan yang dia alami adalah hal yang biasa dan tidak perlu dibuat repot, karena memang jalan hidupnya sudah santai. Tapi semalam, ketika Petro menghubunginya disaat langit masih gelap gulita—sontak saja ada keraguan yang menjalari seluruh lekuk perasaannya.
"Lila hamil, Man. Gue gak tau harus kasih tau siapa dulu, yang ada di kepala gue cuma hubungin lo." Sesak Petro dengan suara yang gemetar malam itu.
Ilman yang baru tidur sebentar, dengan sedikit terpaksa mengangkat ponselnya. Namun kantuk yang dirasakan langsung sirna, keterkejutannya mampu membuatnya segar.
"Lo yang buat?"
"Gue gak akan sepusing ini kalo itu hasil dari perbuatan gue sendiri." Petro berkali-kali menghembuskan napas kasar seolah berusaha untuk tenang.
Ilman mengusap matanya, memijit bagian tengah tulang hidung. "Lo tau darimana?"
"Tadi siang gue ke rumahnya, Lila udah mulai bisa diajak komunikasi. Tanpa aba-aba, dia ngasih tau itu."
"Jangan bilang lo orang pertama yang tau?"
Petro mendesah. "Dia gak berani ngasih tau keluarganya, Man. Sekarang gue bingung mesti ngapain, kalo gini caranya gue gak bakal fokus buat kerja."
Siapa pun pasti tidak akan bisa konsentrasi disaat ada sebuah masalah sebesar ini di depan wajah. Mungkin bagi sebagian orang akan berpikir bahwa ini bukan urusan Petro, karena Lila adalah mantan pacarnya—sekaligus sudah menyakiti hatinya.
Perlu diingat, mereka bukan menjalin sebuah hubungan sesimpel pacaran anak sekolah. Hanya tinggal satu langkah lagi untuk mereka masuk ke masa yang baru. Tapi satu kesalahan mampu meruntuhkan semua rencana yang telah dibuat.
"Lo tau siapa lakinya?" Ilman juga tidak tau harus bagaimana, dia hanya bisa mengulik saja untuk saat ini.
"Lila belom mau ngasih tau."
"Buat sekarang lo harus selalu di samping dia, Pe. Bujuk dia pelan-pelan supaya ceritain semuanya, termasuk secepatnya nyuruh dia buat ngasih tau keluarganya."
Petro terdiam sejenak. "Gue gak bisa bohongin diri sendiri, Man. Lila udah ngebuat gue benci sama dia. Gue tau dia udah jujur, tapi kesalahan yang dia buat gak bisa bikin gue maafin dia gitu aja."
Wajar saja jika Petro merasakan itu. Siapa yang tidak sakit hati mengetahui sang kekasih hamil dengan pria yang tidak mau dia beritau identitasnya?
Meskipun sampai sekarang Petro belum mendapat jawaban apa anak itu hasil perselingkuhan atau Lila telah berhubungan one night stand dengan seseorang.
"Gue gak maksa lo untuk tetep ada buat Lila, Pe. Lo juga punya hak dan lo punya perasaan, lo pantas buat merasa sakit. Tapi kalo lo masih sayang atau seenggaknya peduli sama dia, jangan sia-siain, gue tau lo gak sejahat itu."
"Makasih, Man. Sorry udah ganggu lo malem-malem begini." Petro memutuskan sambungan.
Dan setelah percakapan tersebut, Ilman tidak bisa melanjutkan tidurnya. Karena apa yang ada di kepalanya adalah betapa sulit untuk mempertahankan hubungan dan betapa kita harus merasakan sakit yang teramat dalam untuk menjaga pondasi yang telah dibangun bersama.
Ilman seolah menempatkan dirinya di situasi yang sama sulit. Mungkin dengan permasalahan berbeda namun dengan tingkat resiko yang sama, pastinya dia tidak akan sekuat atau semampu Petro untuk bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...