Sabtu pagi disambut hawa dingin selepas hujan beberapa menit lalu. Aktivitas para penghuni bumi biasanya lebih lambat di hari libur begini—kecuali bagi mereka yang bekerja tanpa mengenal hari.
Aroma roti panggang yang terbalut dengan olesan selai srikaya ditambah dengan hangatnya teh yang baru saja selesai diseduh. Menyambut Arik yang mengernyitkan hidung dan membuka kedua matanya perlahan.
Tubuhnya yang agak kaku karena tidur sofa, direnggangkan agar ototnya tidak terasa pegal. Arik melirik ke sebelahnya dimana Ilman sudah tidak ada di tempat.
Berhubung bagian dapur bersebelahan dengan ruang tamu tanpa pembatas, jadi sedikit Arik melongokan kepala—dia bisa melihat Ilman sedang menikmati sarapannya.
"Gue gak dibikinin?" Arik masih menyipitkan matanya, membiasakan cahaya yang menerpa.
"Bikin sendiri, udah gede kan?"
"Masih pagi udah jutek aja."
Ilman memperhatikan Arik yang menghampirinya. Ternyata mau bangun tidur pun memang Arik tetap menarik dipandang. Meski dengan rambut yang berantakan, wajah kusut serta jalan yang masih meraba akibat sisa kantuknya—Ilman tidak bisa melepaskan pandangannya.
Bahkan ketika Arik menguap, semakin menambah daya tarik bagi Ilman. Berarti benar kata orang di luar sana, kalau cinta itu buta. Buktinya mau semengerikan apapun penampilan Arik ketika baru bangun, Ilman tetap menyukainya—malah semakin menyukainya.
"Lo nyari apaan?" Tanya Ilman karena melihat Arik yang celingak-celinguk menatap meja.
"Gak ada nasi uduk? Atau nasi goreng?"
"Udah numpang tidur, pake request sarapan lagi. Lo kira ini hotel?"
Arik duduk di samping Ilman. "Kan, semalem lo yang nawarin gue tidur disini."
Selembar tisu diambil Ilman dan diberikannya ke Arik. "Ada iler tuh, jorok banget sih."
Bukannya mengambil tisu tersebut, Arik malah mengelap dengan kausnya sendiri. Lalu dengan santai mengambil roti dan mengoleskan selai coklat di atasnya.
Arik melirik ke sebelahnya. "Lo suka roti pake srikaya?"
"Gak suka yang lain."
"Tapi kok ada selai coklat?" Heran Arik.
"Lo, kan suka."
Mulut Arik yang masih mengunyah sempat terhenti dan menatap Ilman dengan pandangan bertanya. Tapi dengan sok bodohnya Ilman malah asik lanjut menikmati sarapannya.
Semakin hari keberanian Ilman untuk mengungkapkan kejelasan akan perasaannya semakin bertambah. Begitu mudah dia memberikan kode bahwa seisi rumahnya menyambut kehadiran Arik disini.
Mulai dari kopi hingga jenis makanan yang disukai Arik. Prioritas Ilman kini terbagi dua dengan sendirinya, yaitu kebutuhan pribadi dan kesenangan Arik bersamanya.
Dering ponsel di ruang tamu membuat Arik menoleh, karena itu memang berasal dari ponselnya. Dia beranjak dan melihat siapa yang menghubunginya.
Ilman yang pendengarannya cukup tajam mendengar kata 'sya' pada beberapa kalimat yang diucapkan Arik. Sudah bisa ditebak siapa orang di seberang sana yang menelpon.
"Gue mesti ke sekolah nanti siang."
"Hari libur gini?" Kerut Ilman di dahinya.
"Sesya minta-"
"Yaudah, berangkatlah sana."
Arik membuang napas. "Masih nanti siang, kan. Bukan Sesya doang yang minta gue kesana, tapi anak-anak yang lain juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...