"Gak ada undangannya?"
"Tunangan doang, lagian yang gue undang cuma temen deket." Jelas Petro.
Ketiga sahabat karib ini sedang berada di restoran sushi atas permintaan sang Sultan, siapa lagi kalau bukan Ilman. Jika permintaannya tidak dituruti Jakarta bisa banjir.
Petro baru saja memberi tau ke Barnes bahwa pesta pertunangannya akan diselenggarakan lusa. Memang terbilang cepat, karena Petro hanya mengurusi soal tempat serta konsumsi segala macam dalam waktu satu bulan saja.
"Kok lo gak kaget sih, Man?" Tanya Barnes.
"Orang udah di kasih tau sama Petro sebelumnya." Ucap Ilman.
"Kapan?"
"Beberapa hari lalu."
Barnes mengernyit. "Ketemuan ya lo bedua? Kok gak ngajak gue dah?"
"Ketemu di rumah Lila, si Ilman janjian sama Arik mau makan malem bareng." Petro memotong.
"Udah baikan lo?" Barnes yang kepo telah kembali.
Ditanya seperti itu, ingatan Ilman kembali pada malam tersebut. Dimana seharusnya menjadi momen titik kembalinya hubungan mereka, tapi malah beralih menjadi malam yang paling tidak ingin Ilman lalui.
Saat itu mereka sedang menyantap nasi goreng masing-masing. Di ruang tamu dengan televisi menyala namum dalam volume suara yang sayup terdengar.
"Nanti mau bareng ke acaranya Petro sama Lila?" Tanya Arik membuka obrolan.
"Boleh." Singkat Ilman namun tidak dipungkuri kebahagiaan dalam hatinya.
"Mau motoran apa mobil? Kalo naik mobil, gue nitip motor di rumah lo."
"Mobil aja, masa iya gue udah rapi mesti naik motor."
Arik mengangguk mengerti. Sebenernya dia pun sudah tidak ada rasa amarah soal pertengkaran terakhir mereka. Emosi yang meledak saat itu, hanyalah sebuah keterkejutan dan rasa tidak terima karena orang yang disayanginya 'disakiti' dalam kondisi yang tidak baik.
Baginya itu masa lalu, yang sudah terlewati dan tidak bisa diubah. Hidup tidak bisa berkutat di satu tempat, kita harus menjelajah melewati berbagai situasi dan keadaan yang baru.
Hidup adalah tentang kita yang berotasi dari berbagai sisi.
"Lo gapapa seandainya gue secara gak sengaja ketemu Barnes di acara nanti? Karena gak mungkin kan, Barnes gak diundang?"
Ilman menelan makanannya cukup lama setelah mendengar itu. "Em, ya kalo emang takdirnya ketemu apa mau dikata."
"Gue cuma pengen tau dari persepsi dia. Alasan kalian ngelakuin itu, kenapa itu bisa terjadi, ya lo taulah gue cuma..."
"Penasaran?"
Arik sedikit menarik sisi bibirnya dengan terpaksa. "Gak masalah kan?"
"Lo berhak tau, Rik. Gue gak larang, kemaren gue gak mau lo nemuin Barnes, karena kondisi lo yang masih emosi dan gak terkendali."
"Sebenernya gue mikirin ini sejak kita mulai deket..." suara Arik agak tertahan. "...gue merasa masih belum bisa imbangin lo."
Ilman mengernyit. "Maksudnya?"
"Gue masih terlalu kekanakan, Man. You're so much mature than me."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...