belum berakhir, apa yang terjadi harus diselesaikan apapun keputusannya

3.6K 541 92
                                    

Apa yang kamu rasakan jika menjadi Arik?

Mengetahui orang yang disayanginya juga mencintainya tapi tidak berani jujur pada dirinya sendiri. Lalu sekarang terungkap bahwa masa lalunya telah membuat luka yang awalnya hanya sebatas goresan kecil, telah berubah menjadi sayatan begitu dalam.

Lebih parahnya Ilman hanya menganggap hal tersebut tidak begitu berarti. Sesuatu yang dianggap sepele dan dilupakan saja. Tanpa mempedulikan bagaimana sakitnya Arik karena sudah begitu mencintainya, hingga apa yang terjadi pada hidup Ilman sekarang atau yang sudah terlewati menjadi titik perhatiannya.

"Maaf karena selama ini lo salah paham, Man. Karena gue pikir lo tau kebenarannya." Ujar Petro memecah keheningan.

"Sekarang rasa benci gue ke Barnes jadi beralasan." Arik mengucapkan tanpa ada nada amarah yang seharusnya dia tunjukan.

Ilman berbicara. "Gue lebih baik liat lo marah dan luapin emosi, daripada nutupin semuanya dengan sikap tenang lo ini."

"Semua kemarahan gue udah terkuras habis, Man." Ucap Arik.

Tidak mau mengganggu, Petro memutuskan pergi untuk memberi Lila makan. "Kalian udah dewasa, selesain ini dengan baik."

Setelah Petro pergi dari pengelihatan mereka. Barulah Arik bergerak dari tempatnya berdiri. Sedari tadi tidak ada pergerakan darinya, kakinya diam di tempat begitu pun pikirannya yang hanya tertuju pada Ilman.

Dia mendekati Ilman, mengikis jarak di antara mereka. Hingga Arik kini benar-benar menatapnya dengan penuh.

"Gue bisa aja bunuh Barnes sekarang juga." Perkataan Arik membuat Ilman merinding. "Tapi gue tau lo gak akan biarin itu. Sampe detik ini, gue masih mentingin perasaan lo."

Ilman menelan ludah dengan sulit. "Bisa kita singkirin Barnes dari masalah ini?"

"Gimana gue mau singkirin dia, kalo sumbu masalahnya justru ada di orang itu."

"Ini salah gue, sepenuhnya salah gue. Tolong jangan libatin dia." Ilman berusaha agar Arik melimpahkan semua kemarahannya pada dirinya.

"Lo berusaha memperbaiki hubungan kita. Menurut lo setelah gue tau hal ini, apa semua masih bisa diperbaiki?"

Tau bahwa dengan adanya kejadian ini membuat hubungan mereka semakin sulit, Ilman menggelengkan kepala.

Dia telah kehabisan kata untuk membela kesalahannya. Karena Ilman sendiri telah sadar bahwa ini menjadi sesuatu yang fatal dalam kehidupannya.

Tidak ada yang sepele dari apa yang telah dia lakukan. Tidak ada hal yang lumrah dari apa telah terjadi. Meskipun ketidaksadaran diri menjadi alasan dan tidak ada rasa yang mengikat, tapi kejadian itu tidak bisa dipungkiri—bahwa itu jadi alasan terkuat atas semua kebencian serta kemarahan Arik.

"Lupain yang pernah ada di antara kita. Anggap semua itu gak ada, anggap kita gak pernah ketemu, anggap kita gak pernah kenal."

Kalimat itu seolah menusuk relung hati Ilman. "Gak ada kesempatan?"

"Gue udah ngasih lo kesempatan, tapi semua lo sia-siain."

Baru kali ini Ilman merasakan sesak di dadanya karena rasa sakit yang tidak terlihat. Terakhir dia merasakan ini adalah ketika orang tuanya pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Kini sakit itu kembali lagi, guncangan itu kembali dirasakannya. Seolah dunia yang dia pijak tidak mampu membuatnya berdiri kokoh.

"Jangan temuin gue lagi. Cukup buat usaha lo, Man." Seolah kalimat yang Arik lontarkan adalah tanda agar Ilman segera beranjak pergi.

Unforgettable, every second of itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang