Sudah lebih dari sepuluh kali Arik mencoba menghubungi Ilman malam ini. Tapi tidak ada jawaban, begitu juga belasan pesan singkat yang masuk—dibaca pun tidak.
Ilman menikmati malamnya menonton film dari laptopnya di ruang tamu. Dengan televisi yang juga dinyalakannya. Berhubung Ilman sering bersugesti hal aneh, jadi dia sering menyalakan televisi meskipun tidak ditonton—asalkan ada suara atau gambar yang menemaninya beraktivitas.
Kembali ada getaran pada sofa yang dia duduki, Arik masih berusaha dengan keras. Bisa dihitung tiap tiga sampai lima menit dia menghubungi. Dimulai dari selepas maghrib tadi, Ilman berpikir kalau Arik menghubunginya setelah mengantar mantan pacarnya itu pulang.
Headset yang terpasang di telinga, dilepas Ilman karena dia merasa cukup lelah menatap layar sedari tadi. Bunyi 'ting' pada ponselnya menunjukan pop up chat dari Arik.
'Gue di depan.'
"Batu banget sih." Ilman bersidekap berusah untuk tidak mempedulikan.
Tapi jujur, pikirannya selalu mengarah pada Arik sekarang ini. Dia mengambil ponselnya dan melihat layar yang menampilkan beberapa missed calls dan pesan dari Arik yang bisa dibaca langsung.
'Sesya cuma ngajak ngobrol sebentar.'
'Kita ketemu sama lo juga gak sengaja, kan.'
'Dia gak bahas apa-apa soal hubungan kita yang udah selesai, cuma pengen memperbaiki kesalahpahaman.'
'Semenjak deket sama lo, dia ngerasa dijauhin sama gue.'
Ilman beranjak dari sofa, melihat Arik yang sedang duduk di teras rumah dengan motornya yang sudah berada di dalam garasi. Ponselnya terus berada di dalam genggaman, menatapnya dan berharap ada balasan.
"Belum di suruh masuk, udah main nyelenong aja." Gumam Ilman.
Merasa dirinya terlalu berlebihan menyikapi hal ini, akhirnya Ilman membukakan pintu. Meski masih ada rasa kesal dalam hatinya.
Suara decitan itu membuat Arik menolehkan kepala, dia langsung berdiri dan mendekati Ilman. "Gue harus bersikap kaya gimana supaya lo gak selalu marah?"
"Gue gak berhak ngatur hidup lo." Ilman melipat tangan sembari kembali berjalan masuk ke dalam rumah.
Arik mengikuti di belakang. "Sesya cuma nyoba memperbaiki komunikasi kita. Lo yang bilang kalo gak perlu bahas masa lalu, tapi sekarang?"
"Terserah tuh perempuan mau apa, gue gak peduli juga seandainya kalian bakal balikan."
"Kenapa lo kayanya selalu gak suka gue deket sama orang lain?" Serang Arik. "Sekarang bahkan gue berusaha buat nahan supaya gak ngekang kehidupan lo sama Barnes itu."
Ilman berdiri menyandarkan tubuhnya pada bagian belakang sofa. "Lo berpikir apa tentang gue sama Barnes?"
"Orang yang mengganggu, ngintilin lo kemana aja kaya bocah yang ilang di pasar malem."
Meskipun Arik pernah bertemu Barnes di tempat makan waktu itu, tapi dia tidak mengetahui bahwa yang bersama Ilman itu adalah Barnes. Jadi sampai sekarang belum menyadari bahwa sesungguhnya dia sudah pernah bertatap muka.
Memang mereka terbuka satu sama lain, Ilman bercerita siapa Barnes. Pria itu banyak membantunya jika dalam kesulitan, Ilman juga bercerita tentang Petro ke Arik. Dan untungnya Arik tidak masalah dengan yang satu itu, karena dia tau Petro tidak semengganggu Barnes.
"Dia sahabat gue, Rik. Lo bisa bersikap biasa ke Petro, tapi kenapa gak bisa ke Barnes?" Ilman berusaha meredam agar emosinya tidak meledak.
"Lo selalu bilang Barnes orang yang paling bisa diandelin, dia dateng kapan aja lo butuh. Dia selalu nemenin lo kemana aja, dia selalu jadi tempat lo cerita. Dia selalu jadi orang pertama yang tau apa masalah lo dan dia ngebuat gue merasa tersingkir karena itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...