Sepanjang perjalanan terasa begitu canggung untuk Ilman. Dia merasa gelisah duduk di belakang Arik, yang membawa motornya dengan santai.
Melaju dengan kecepatan normal tapi tidak memperhatikan rambu lalu lintas. Lampu yang menyala merah diterabas begitu saja, melanggar dengan memutar balik padahal jelas ada tandanya, bahkan dia hampir menyerempet mobil dan gerobak bakso yang sedang diam tidak bergerak.
"Lo kalo gak niat anterin gue pulang, gue bisa balik sendiri." Ilman memberanikan diri berbicara.
Meskipun Ilman lebih dewasa umurnya, tapi jika Arik dalam mode seperti ini—dia akan merasa segan juga.
"Bentar lagi sampe."
"Sampe rumah sakit iya." Gumam Ilman.
Kejadian yang sama seperti saat mereka pertama kali bertemu. Dimana Arik mengantar Ilman ke kantor—bedanya waktu itu suasananya sedang baik meski Ilman mengomentari gaya menyetir Arik yang sembarangan.
Arik menghentikan motornya di pinggir jalan secara mendadak. Di pinggiran sungai dimana cukup gelap dan jarang dilalui orang. Sebab kebanyakan pengendara melalui jalan di bagian seberang, karena dekat jalan raya dan terdapat gedung perkantoran—sementara tempat mereka berhenti ini adalah jalan cukup sempit yang berada di sekitaran bagian belakang rumah warga.
"Kenapa berhenti disini, sih?" Keluh Ilman.
Arik turun dari motor, lalu menghadap Ilman dan memandangnya. Cukup lama sampai akhirnya dia berbicara. "Apa tujuan lo sebenernya?"
Ilman yang masih duduk jadi kikuk. Dia perlahan ikut turun dan bersandar ragu di badan motor. Tidak berani memandang langsung ke Arik, mengedarkan pandangannya ke arah lain.
Jika ditanya seperti itu, sebenarnya dia pun tidak tau. Karena belum ada ketegasan dari perasaannya. Tentu Ilman mengakui dia menyukai Arik, tapi berbagai spekulasi dan pandangan ke depan yang membuatnya ragu.
"Tadi lo mau jelasin panjang lebar, sekarang gue kasih kesempatan malah diem aja." Lanjut Arik.
"Gue juga gak tau, Rik." Cetus Ilman cepat. "Maksudnya gue gak yakin, bukan gak yakin sama lo-nya. Tapi gue ngerasa selalu mikirin hal kecil dan simpel, yang seharusnya gak jadi masalah pun sama gue bisa jadi beban."
"Kalo emang gak bisa yaudah, gampang kan?"
"Terus lo ngerelain gitu aja?" Ilman mengerut, dia heran.
"Sekarang lo aja gak bisa nentuin pilihan, kenapa gue harus mohon-mohon? Gue bukan orang yang maksa orang lain untuk nurutin keinganan gue."
Ilman mendesah. "Tapi lo ngatur-ngatur hidup gue supaya sesuai sama apa yang lo mau."
"Karena itu demi kebaikan lo, lagian ini beda korelasinya. Gue ngatur cara hidup dan kebiasaan lo. Tapi gue gak bisa ngatur kata hati lo, Man."
"Lo sadar apa yang buat gue ragu, kan? Pasti lo juga tau kalo soal perasan gue." Ilman perlahan menatap Arik, meski tetap terlihat ada ketakutan disana.
"Pemikiran kita beda, Man. Apapun yang terjadi sama hidup, gue buat lebih sederhana buat nanganinnya. Sementara lo?"
Seharusnya Ilman pun begitu, karena soal prinsip tentang 'teman dekat' dibuat secara simpel olehnya, tapi itu dulu. Kini semenjak mengenal Arik, ada sedikit rasa egois untuk kelangsungan hubungan mereka—tapi di lain sisi Ilman memikirkan berbagai resikonya.
"Gue tau seharusnya bukan lo aja yang berusaha disini. Makin kesini apa yang jadi pegangan gue semakin lunak, Rik. Sekarang semua yang terjadi sama hidup gue selalu kerasa berat, gak lagi gue tanggapin santai kaya dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...