terungkapnya berbagai kenyataan yang tersembunyi

3.7K 565 86
                                    

Apa yang baru saja diutarakan oleh Ilman mungkin terlalu dianggap santai olehnya. Sebab tanpa berpikir dulu, dia mengucapkannya begitu saja. Seolah hal tersebut tidak begitu penting untuknya atau orang yang mengetahuinya.

Sadar tidak ada tanggapan untuk beberapa lama dari Arik, kepala Ilman terangkat dan melihat ke depan. Menatap Arik yang kini sedang membalas tatapannya.

Gelap, suram, hitam, semua itu seolah bergemul pada bola matanya. Pancaran aura yang menguar sontak berubah menjadi cukup mencekam bagi Ilman. Bodoh saja, dia tidak menyadari sejak pengakuannya itu telah membuat sosok Arik menjadi binatang buas yang siap menerkam sang mangsa di hadapannya.

Mengetahui bahwa kejujuran tadi adalah hal yang salah, Ilman langsung menambahi. "Itu udah lama banget, kita mabok terus gak begitu sadar dan suasananya juga agak mengarah kesana. Jadi ya gitu, sama sekali gak ada kemauan dari kita. Murni karena gak sadar."

"Jadi gak sadar apa gak begitu sadar? Terus suasana yang mengarah kesana itu, maksudnya apaan?"

Ilman mengerjap. "Lo beneran marah?"

Ada helaan napas panjang dari Arik dan sempat membuang pandangannya sesaat. "Cukup deh Man, buat hari ini."

Kali ini Arik benar-benar pergi meninggalkannya, tanpa ada adegan menunggu di motor dan memberi kode untuk Ilman naik.

Sesuatu yang dikiranya tidak begitu berarti dan dianggap sebagai hal lalu, malah menjadi salah satu sumbu yang semakin membakar jarak di antara mereka. Bukan lagi satu atau dua langkah menjauh, tapi sekarang seperti berpuluh-puluh langkah.

Terjadi begitu cepat dan tidak disadari oleh Ilman. Bahkan dia belum mampu mencerna dengan baik, apakah Arik menganggap apa yang dilakukannya dengan Pertro adalah hal yang penting? Karena Ilman pun menganggap bahwa itu ketidaksengajaan dan sebaiknya dilupakan saja, anggap tidak pernah terjadi.

Tapi jika dianggap tidak pernah terjadi, kenapa sampai sekarang Ilman masih mengingatnya?

"Goblok banget gue anjir. Manusia tolol, udah tua bukannya makin pinter. Malah makin cetek kapasitas otaknya." Ucap Ilman.

"Ngomong sama siapa sih, Mas?"

Ilman menoleh dan melihat sang penjual kebingungan. "Bungkus aja nih soto, Bang."

"Lah, kapanan tadi minta buru-buru disiapin. Sekarang udah di meja, malah minta dibungkus." Keluh si penjual.

"Buruan deh, gue bayar ini."

Seringkali Ilman bertindak tanpa berpikir. Dan menyesal di akhir akibat sikapnya yang masih labil dan tidak selalu tepat mengambil keputusan.

Kemarahan Arik yang seperti ini berbeda dari sebelumnya. Dia memang lebih banyak diam dan tidak peduli jika sedang tersulut emosi, tapi kali ini berbeda. Ilman bisa merasakan bagaimana desiran napas Arik menguat dan entah perasaanya saja atau bukan—seolah Ilman bisa mendengar degupan jantung Arik yang berderu kencang.

Selama ini Ilman belum pernah ke rumah Arik, dia tidak tau dimana pria itu tinggal, apalagi kesehariannya disana. Dalam perjalanan yang belum tentu, Ilman menghubungi Rama untuk bertanya dimana Arik tinggal—dia berusaha untuk tenang agar Rama tidak curiga.

Setelah beberapa lama, sampailah Ilman di rumah dua lantai yang berada di dekat stasiun kereta daerah selatan.

Ilman tau bahwa Arik bekerja di bengkel hanya untuk menghilangkan bosan, sekaligus menekuni hobinya tentang otomatif. Tapi jika dilihat dari rumah yang sebesar ini, seharusnya Arik bisa membuka bengkel sendiri tanpa menjadi karyawan orang lain.

Unforgettable, every second of itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang