pertemuan yang tidak diharapkan

4.5K 592 54
                                    

Ilman masuk ke lobby, tersenyum pada satpam yang menyapanya sopan. Dengan setelan kemeja baby blue, slim tie serta celana ankle, dia berjalan dengan wajah kusut.

Tanpa menyadari di belakangnya ada sosok Petro yang tadi melihat temannya ini bersama seorang bocah SMA—meskipun dia tidak jelas dengan wajah anak itu. Petro juga sekilas mendengar apa yang dibicarakan mereka, serius dan dia tidak ingin buru-buru bertanya pada Ilman.

Menekan tombol lift dan beberapa saat pintunya terbuka. Petro secara sengaja menabrak bahu Ilman pelan dan melangkah masuk lebih dulu.

"Liat-liat dong, Mas! Buta lo." Ilman memaki punggung Petro tanpa tau itu sahabatnya.

Petro berbalik. "Saking emosinya, dari belakang aja gak kenal gue ya."

Mulut Ilman mendecih. "Lagi bete gue."

"Kenapa?"

Sekilas Ilman meliriknya. "Ada lah, males ceritanya."

Mungkin jika Barnes yang melihat hal tadi, dia akan langsung menyerangnya dengan segelintir pertanyaan. Untungnya ini Petro—dia bukan tipe orang yang terlalu ingin tau.

Walaupun Ilman sahabatnya, tapi Petro masih menghargai privasinya. Dia tidak akan memaksa kecuali memang Ilman sendiri yang mau menceritakan.

Jalan ke pantry, Ilman meminta OB untuk dibuatkan kopi susu. "Banyakin susunya ya, yang kemaren kepaitan."

"Gue teh anget ya." Pinta Petro.

Sang OB mengerut melihat Ilman yang jarang sekali memasang wajah ketus. "Mas Ilman kenapa ya, Pak?"

"Dateng bulan kali." Canda Petro dan pergi meninggalkan pantry.

Di balik kubikelnya, Ilman hanya melamun menopang dagu. Bisa dibilang ini adalah pertengkaran kecil pertamanya pada orang yang baru dikenal.

Sebelumnya Ilman selalu menjaga jarak dengan orang yang sedang dekatnya dengannya. Maksudnya tidak membiarkan orang tersebut terlalu tenggelam jauh ke dalam kehidupan pribadinya.

Sementara ini dengan Arik, seolah Ilman mempersilakan pria itu untuk tau. Terlalu cepat dia mempercayai seseorang dan terlalu mudah takluk hingga kelalaian tidak bisa dihindari.

"Tumben lo telat, Pe?" Barnes yang sudah dateng beberapa menit lalu bertanya pada Petro yang ingin masuk ke ruangannya.

"Entar kalo ada waktu gue ceritain." Petro pun tentu punya masalahnya sendiri. "Lo liat temen lo tuh, mukanya perlu diurut kayanya."

Barnes yang duduk agak jauh harus melongokan kepalanya dari kubikel. Melihat Ilman yang memandang meja sembari memainkan pulpen.

Miris melihatnya, karena jarang sekali Ilman terlihat galau begini. Ingat konsep hidup pria itu? Selalu santai menjalaninya, hingga orang-orang selalu melihatnya seperti tidak pernah ada masalah.

Barnes menghampiri. "Man, masih berlaku kan teraktrian buat gue? Mobil lo masih di bengkel, kan?"

Arah mata Ilman memandang ke atas, dimana Barnes sedang menyandarkan tangannya pada dinding kubikel. "Masih, besok baru selesai mobil gue."

"Bagus deh, akhir bulan nih. Kering banget dompet, kurang disiram."

"Emang tante yang biasa jajanin lo kemana, Nes?" Celetuk Petro.

"Lagi bulan madu sama lakinya." Barnes mengeluh.

Pikiran Ilman tentang perdebatannya dengan Arik jadi agak tersingkirkan—karena dia tertarik juga mendengar apa yang terjadi dengan 'sumber keuangan' Barnes.

Unforgettable, every second of itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang