permasalahan sirna karena waktu berbicara

4.3K 591 63
                                    

"Jadi lo udah ketemu Lila?"

Ketiga manusia yang selalu kemana-mana bersama ini, sekarang berada di kantin kantor. Menikmati jam istirahat mereka.

Biasanya mereka akan mencari makan di luar—yang berada di sekitaran. Tapi berhubung Ilman sedang dalam suasana hati yang kurang baik sejak kemarin, jadi dia tidak mau berjalan dan panas-panas. Terpaksalah mereka menuruti keinginan si 'putri raja' ini.

"Gue ke rumahnya, ketemu orang tuanya juga. Mereka ngijinin gue ketemu Lila, udah beberapa hari dia gak keluar kamar." Petro nelangsa meratapi kondisi mantan pacarnya.

Barnes kembali melontarkan pertanyaan. "Terus dia gimana kabarnya?"

"Bener semua yang dibilang, dia kaya gak punya semangat hidup. Gue ajak ngomong, jawabnya juga seadanya."

Ilman ikut menanggapi. "Terus lo dapet jawaban kenapa dia begitu?"

Petro menggeleng. "Kemaren gue cuma nemenin dia aja seharian. Beruntungnya sama gue dia mau makan dan diabisin. Karena biasanya sesuap, dua suap doang."

"Lo gak ngorek informasi lagi dari adeknya Lila?" Tanya Barnes.

"Dia kayanya juga lagi ada masalah. Pas gue dateng ke rumah, mukanya kusut banget. Jadi gak enak duluan gue buat nanya-naya,"

Memang tiap orang punya masalah dan kehidupannya sendiri. Kadang kita melupakan bahwa urusan mereka, hanya mereka sendiri yang bisa menyelesaikan. Pasalnya masih banyak orang yang sok perhatian—padahal mereka hanya ingin tau saja.

Tapi tidak semua begitu, meskipun ada yang ingin tau—mereka tentu juga memberikan support yang membantu secara batin. Contohnya Barnes, dia selalu ingin tau karena memang dia peduli. Dia mengerti temannya butuh ditemani, maka dari itu dengan caranya—Barnes selalu bisa membuat mereka mencurahkan apa yang dirasakan.

"Kayanya lo mesti rutin jenguk Lila deh, Pe. Karena cuma sama lo dia ada perkembangan. Tadinya dia jarang makan, kan? Sama lo, napsu makannya bisa balik." Cetus Ilman.

"Berarti bukan selingkuh nih ya?" Barnes memberi pertanyaan untuk meyakini.

"Gak usah semua cewek lo samain kaya Elma."

Barnes melempari Ilman dengan dengan sendok bekas makanannya. "Kaya cuma dia aja sih mantan gue, disebut-sebut mulu."

"Kan, lo paling sayang sama dia." Petro menambahi.

"Sayang sama jablay, gimana mau setia." Ilman pun jadi semangat karena ada yang membantu.

"Gue juga baru tau dia begitu orangnya menjelang penggrebekan itu. Awal-awal kenal mah manis banget, taunya belakangan pait." Barnes juga bingung kenapa dia tidak bisa menerka bahwa Elma bisa begitu.

Semakin kita dewasa, semakin bertambah umur tentu pemasalahan hidup semakin berat. Waktu masih anak-anak, SD misalnya—beban hidup hanya ada pada pelajaran matematika. Lalu masuk SMP, mulai mengenal cinta monyet yang bikin pusing sendiri. Ditambah hormon sedang bergejolak tinggi. Masa SMA, dimana dosa kesenangan menjadi bagian yang melekat. Semua berawal di masa-masa ini, kisah mulai berkembang pada saat remaja.

Dan ketika sudah kuliah atau malah kerja, bukan lagi soal remeh seperti itu. Pikiran sudah tertuju pada bertahan hidup dan menatap masa depan dengan serius. Bukan lagi waktunya nakal dan mencari kesenangan sesaat. Umur berbicara untuk menghentikannya.

Bahkan Barnes yang nakalnya tidak tertolong, dia banting tulang mencari tante-tante yang bisa menambah penghasilannya. Mungkin sebentar lagi akan berhenti, karena saat ini dia mulai memperhatikan umur yang semakin bertambah. Tidak mungkin sampai dia tua dan ubanan masih jadi 'peliharaan' tante ganjen.

Unforgettable, every second of itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang