Akibat kemacetan ibukota yang tiada habisnya, mereka baru sampai tempat makan selepas maghrib. Mobil berhenti tepat di depan tenda kaki lima yang menjual bebek goreng.
Arik melihat ke sekitar—memang dia yang mengemudi, tapi Ilman yang menentukan mau makan dimana. Jadi tadi dia yang menuntun jalan dan Arik tidak menyangka bahwa Ilman akan membawanya kesini.
"Serius nih? Gue udah bayarin setengah biaya mobil dan balesan lo cuma teraktir disini?" Arik menggenggam kemudi dengan kedua tangannya, seperti tidak ada niatan turun.
Sementara Ilman sudah akan membuka pintu. "Mau gak? Lagian siapa suruh lo bayarin biaya service mobil gue?"
"Ya gue pikir lo bakal ngajak di tempat makan yang bagusan." Keluh Arik. "Gapapa deh, tanggung juga udah sampe."
"Besok-besok gue ajak ke tempat yang lebih mahalan, anggap aja gue masih ngutang."
Mereka berdua turun dan memesan makan, bebek muda goreng dengan nasi uduk serta kol goreng yang ternyata adalah salah satu makanan favorit mereka. Meski tidak sehat, tapi kalau enak tidak mungkin ditolak, kan?
Karena tempatnya juga baru buka, jadi belum terlalu banyak pengunjung yang datang. Biasanya tempat seperti ini, akan ramai jika makin malam.
"Lo ngarep gue ajak ke restoran? Pakaian lo aja begitu, mana bau asep sama oli." Ilman menunjuk baju yang dikenakan Arik.
Memang Arik hanya mengenakan kaus dan celana ripped jeans. Sebelumnya dia memakai seragam montir, tapi itu hanya dipakai di bengkel—selesai bekerja akan ditinggal disana. Tapi berhubung dia belum bersih-bersih, jadilah masih ada aroma tidak sedap.
Arik mencium ketiaknya. "Gak bau-bau banget kali. Lo aja yang kurang laki, kebiasaan mikirin penampilan mulu kaya perempuan."
"Dih! Emang perempuan doang yang mesti peduli penampilan?" Ilman tidak terima.
"Laki tuh wajar kotor terus keringetan, emang lo tiap hari wangi. Gue rasa lo berendem pake kembang tujuh rupa."
"Eh, gue pegawai kantor ya. Mesti rapi, wangi, gak kaya lo yang bodo amat sama penampilan."
Meskipun begitu, Arik tidak merasa tersindir. Tidak seperti Ilman yang memang agak sensitif. "Gue kan, masih sekolah jadi ya emang pasti bau matahari. Apalagi kerja di bengkel, mana ada montir pake jas atau kemeja gitu."
Saling diam dengan tatapan yang seolah mengajak berkelahi. Mereka saling berlipat tangan dan menunjukan keberanian tanpa rasa takut.
"Mas, pesenannya." Penjual itu meletakan makanan mereka di meja. "Adek kakak ya? Lucu banget berantemnya."
Ilman mendelik dengan lirikan. "Ogah saya punya adek kaya dia, Bang. Gak ada adatnya begini, siapa yang tahan."
"Siapa juga yang mau punya kakak kaya lo. Laki dipertanyakan, perempuan bukan."
Sang penjual agak tercengang. "Mas, bukan kakaknya?" Tunjuknya ke Arik, lalu beralih ke Ilman. "Berarti Mas ini yang kakaknya ya?"
"Apaan sih, Bang? Saya lebih tua dari dia." Beberapa orang mungkin senang jika dibilang mempunyai wajah yang awet muda—tapi tidak untuk Ilman.
"Emang dia adek saya kok, Bang. Baru kelar SD ya, de?" Arik tertawa.
Mereka seolah tidak peduli dengan orang sekitar yang mulai memperhatikan. Bahkan sang pedagang yang melihat raut muka Ilman mulai tidak bersahabat—meninggalkan meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...