Kalimat yang dilontarkan Petro seperti samar terdengar oleh telinga Ilman, tidak terlalu jelas. Hingga dirinya harus memajukan tubuhnya dan meminta Petro mengulangi perkataannya tadi.
"Adeknya Lila, namanya Arik kan?"
Malam sudah bersambut dengan taburan bintang dan cahaya bulan purnama yang begitu nampak terlihat. Tetapi seolah Ilman baru saja mendengar sambaran petir. Bukan pada pendengaran, tapi batinnya yang terlalu terkejut bagai tersambar petir.
Sontak dia membuang napas kasar dan menyandarkan tubuhnya. Mengusap dahinya yang mulai tertutupi poni, rambutnya sudah agak memanjang dan mengganggu.
"Jaket yang banyak coretan di lengan itu, gue gak pernah tau itu punya Arik. Tapi kemarin pas di rumah Lila, gue liat jaket itu ngegantung di depan pintu kamarnya." Lanjut Petro.
Mungkin ini memang tidak terlalu berpengaruh, mengetahui fakta bahwa Arik adalah adiknya Lila. Tapi Ilman yang mempunyai sifat paranoid dan sensitif terhadap sesuatu, membuat hal ini jadi beban pikirannya.
Megetahui Arik ada ikatan darah langsung dengan Lila, membuat Ilman berpikir kalau Arik sedang dalam kondisi yang terpuruk bahkan sebelum bertemu dengannya. Karena menurut cerita Petro, Lila sudah menyimpan masalah ini sekitar dua bulan lalu.
Pertemuan Ilman dan Arik serta Petro yang mengetahui kondisi Lila, terjadi belum lama ini.
"Kayanya gue udah buat hidup anak orang makin sengsara." Gumam Ilman.
"Tapi bukannya si Arik ini gak tau Lila hamil?" Tanya Barnes.
Petro membalas. "Ya tapi dia tau kondisi Lila lagi gak baik. Menurut lo aja, ngurung diri di kamar dan jarang makan, apa pikiran mereka gak kalut jadinya?"
"Kalo dari pandangan gue sih, Arik mungkin pengen ngurangin kegelisahan dan rasa sakit liat kondisi kakaknya—dengan dapet perhatian atau deket sama lo." Cetus Barnes, terlihat bahwa omongan pria ini bisa benar.
"Kalo udah gini lo berpikir untuk lanjut sama Arik?" Tanya Petro penasaran.
Ilman mendongak, menatap kedua sahabatnya tanpa tau apa yang harus dia lakukan. Sudut hatinya semakin menyesal setelah tau semua ini. Dia merasa jadi orang yang tidak punya perasaan sama sekali.
Seharusnya Ilman tidak memutuskan secepat itu—bahkan dengan alasan ragu yang sebenarnya tidak berdasar. Karena hal tersebut mestinya bisa diatasi dengan lebih tenang.
"Pastinya kalo begitu Arik bakal ngerasa tersinggung, ya laki pasti kalian ngerti." Barnes menambahi.
"Gue juga gak bisa gegabah buat bertindak sekarang juga. Ini aja gue masih bingung mesti apa." Mendadak Ilman jadi hilang napsu makan, padahal masih ada setengah lagi.
"Tunggu sampai keadaan mereda, kalo lo udah merasa harus nemuin dia—ya temuin." Saran Petro.
Barnes ikut berbicara. "Saat kaya gini lo dipaksa untuk bersikap dewasa, Man."
Karena takut semakin malam dan besok masih harus bekerja, mereka memutuskan pulang. Barnes ikut menumpang dengan Ilman, berhubung rumah mereka searah dan Barnes juga sedang tidak membawa kendaraan.
Keluar dari mall, kondisi jalan sudah tidak terlalu macet. Masih padat kendaraan tapi juga masih tetap bergerak. Karena jika jam pulang kantor, apalagi di tempat kawasan mereka bekerja—macetnya bisa bikin sakit kepala.
"Kemarin gue ketemu Elma, kita sempet ngobrol sebentar." Barnes berbicara tiba-tiba.
Ilman terkekeh, bukan karena bahagia—tapi seperti meratapi nasib mereka. "Kita bertiga kaya lagi diserang masalah secara bersamaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...