sebenarnya rasa itu masih ada

3.7K 530 60
                                    

Sudah seminggu lebih Ilman dan Arik tidak saling komunikasi. Terakhir niat Ilman adalah untuk tetap berusaha memperbaiki hubungannya, namun sampai sekarang dia belum merealisasikannya.

Alasannya, Ilman ragu Arik akan memberikan reaksi yang 'dingin' kepadanya, ya itu memang pasti—tapi membayangkannya saja sudah cukup membuat Ilman sesak, apalagi jika Arik benar tidak peduli padanya.

Kini Ilman berada di depan bengkel Rama, tidak persis depan gerbang. Dia berdiri beberapa langkah agak jauh, namun tetap bisa melihat situasi di dalam bengkel tersebut.

Di tangannya sudah ada martabak yang terlihat masih hangat. "Masih ada gak sih orang dateng mau ngapel bawa martabak?" Gumam Ilman pada dirinya sendiri.

"Ngapel?" Lanjutnya dengan nada bertanya.

"Anjir, kenapa gue nganggep ini ngapel? Mending kalo Arik mau ketemu." Ilman sudah seperti orang gila berbicara sendiri.

Dengan keberanian yang tidak seberapa, Ilman melangkah mendekat hingga akhirnya sang pemilik bengkel—yang memang sedang berada di halaman depan, melihatnya dan menyapa.

"Mati gue, Rama ngeliat lagi." Desis Ilman.

"Bengong aja Man, kesambet lo?"

"Nggak, ada bangke di depan tadi." Alasan Ilman yang tidak masuk akal.

Mendengar ada orang datang, Arik yang sedang sibuk mengerjakan tugasnya melihat siapa pelanggan yang berkunjung tanpa tau waktu.

Sebab ini sudah hampir maghrib, jarang ada pelanggan yang datang kecuali memang masalah pada mobilnya serius atau mogok di tengah jalan.

Menyadari Arik melihatnya, Ilman membalas tatapan itu lalu memberikan senyuman bermaksud menyapa. Tapi Arik segera mengalihkan pandangan tersebut dan melanjutkan pekerjaannya.

"Masalah lagi mobil lo ya?" Tanya Rama.

Selama ini Rama tidak mengetahui bahwa Ilman sudah tidak ada urusan 'kursus' tentang mesin mobil bersama Arik. Dia mengira mereka masih melakukan hal tersebut.

Padahal sesungguhnya baru sekali pertemuan Ilman belajar tentang mesin, lalu selanjutnya pertengkaran muncul.

"Nggak, cuma mau dateng aja. Martabak?" Ilman mengangkat kantung plastik di tangannya.

Dengan segera Rama mengambilnya dan berterima kasih. "Bor! Pada mau nggak?"

Bengkel Rama ini tidak terlalu besar dan karyawannya pun tidak banyak. Jadi sebenarnya sistem pelanggan disini adalah menghubunginya dahulu atau kalo yang datang mendadak akan di-pending dulu kendaraannya sampai kendaraan lain yang sedang dikerjakan selesai.

Satu porsi martabak manis cukup bagi mereka yang memang sedang butuh cemilan di jam-jam yang nanggung. Sore sudah hampir selesai, malam belum muncul—dimana perut kenyang, tapi mulut ingin mengunyah sesuatu.

Semua menikmati makanan yang dibawa Ilman, kecuali Arik. Dia seperti tidak peduli dan tetap melanjutkan kerjanya.

"Rik, gak mau lo?" Tanya Rama dengan mulut penuh.

"Tanggung, Ram." Sautnya.

Rama mengambil dua potong martabak di piring kecil lalu memberikannya ke Ilman. "Tolong kasihin ya, daripada gak kebagian."

Anjir gue disuruh-suruh sama bocah.

Ilman menurut saja walaupun dalam hatinya menggerutu. Karena siapa tau ini kesempatannya untuk kembali menjalin komunikasi yang baik dengan Arik.

"Ini, Rik." Singkat Ilman.

"Taro aja." Singkat Arik juga.

"Taro mana ya?"

Unforgettable, every second of itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang