keraguan menjadi penghalang dalam menentukan masa depan

4K 531 62
                                    

Bagaimana rasanya jika kita berhadapan dengan seseorang yang tidak disukai. Dengan alasan sederhana yang mungkin tidak seharusnya menjadi dasar kebencian tersebut. Duduk saling berhadapan tanpa orang itu ketahui bahwa kita memendam rasa untuk tidak saling bersitatap, untuk segera pergi dan menghindar sejauh mungkin.

Meskipun sosok Sesya bisa dibilang hampir sempurna sebagai perempuan, namun mata Ilman seolah tertutup dengan sebuah pernyataan bahwa dia adalah mantan dari orang yang kini sedang ditaksirnya.

Sesederhana itu untuknya membencinya. Tidak masuk akal bagi orang lain, tapi begitu berdasar dan beralasan kuat bagi yang mengalaminya.

"Minumnya, Ka." Seorang pelayan meletakan segelas es cappuccino di meja.

Minuman yang juga disukai Arik—dan poin ini menambah kekesalan Ilman pada Sesya.

"Ka Ilman mau nunggu Arik disini sampe malem?" Tanya Sesya.

"Kalo gue udah ngerasa kelamaan nunggu ya tinggal pulang."

"Katanya Arik, Ka Ilman minta diajarin soal mesin malem ini."

Ilman berjengit sedikit. "Arik sering cerita sama lo ya?"

"Gak sering banget, cuma kalo lagi ada waktu buat ngobrol." Sesya menyesap minumannya.

Memperhatikan dengan seksama, memang sosok Sesya begitu perempuan sekali. Bohong jika saja Ilman straight dan tidak menyukainya.

Karena tipe perempuan seperti Sesya ini adalah incaran bagi kaum Adam. Dimana dia sebagai primadona sekolah hanya dengan diliat dari tampilan luar saja.

Tapi dengan fakta bahwa Sesya juga memberikan bimbingan untuk junior, itu menjelaskan bahwa dia juga sosok yang cerdas. Setidaknya kapasitas otaknya tidak dibawah standar.

"Arik pernah bilang, semenjak kenal gue jadi kurang komunikasi sama lo. Maaf kalo misalnya lo merasa dia jadi teralihkan perhatiannya." Jelas Ilman. 

Ada guratan wajah tidak enak dari Sesya. "Justru saya yang minta maaf, karena kayanya sikap saya kurang ngajar sama Ka Ilman. Secara gak langsung saya buat kalian berantem."

Mendengar penuturan Sesya, membuat Ilman agak merasa curiga. Karena jika dilihat, semua yang dikatakan Sesya soal dirinya dan Arik seperti terdengar wajar.

"Dia cerita juga kalo kita berantem?"

"Iya, maaf kalo misalnya saya lancang. Tapi Arik sendiri yang cerita tanpa diminta, dia cuma butuh temen curhat." Sesya menunjukan raut penyesalan.

"Tau gak, seharusnya gue yang lebih sering minta maaf sama lo. Karena kita baru dua kali ketemu, tapi gue tau lo udah cukup lama. Dan gue merasa kehadiran lo sebelumnya di kehidupan Arik cukup ngebuat gue terusik."

"Saya tau, karena Arik juga menjelaskan hubungan kalian."

Saat itu juga dalam sejenak Ilman merasa sekujur tubuhnya seperti dihinggapi ribuan semut. Semudah itu Sesya berbicara tanpa ada nada keraguan dalam ucapannya.

Bisa dilihat bahwa Sesya bukan orang yang suka bertele-tele. Dia lebih suka langsung berbicara dan menerima resiko daripada harus berbelit.

"Dia bilang kita ada hubungan?" Tanya Ilman dengan penasaran namun tetap berusaha tenang.

"Arik udah menganggap Ka Ilman sebagai orang yang penting dalam hidupnya. Meskipun dia merasa kalo Ka Ilman belum bisa nerima sepenuhnya, tapi dia selalu yakin sama jalan yang dia pilih."

Sedalam itukah Arik bercerita ke Sesya? Bukan merasa cemburu, hanya saja Ilman berpikir bahwa Arik begitu mudah buka suara soal hatinya ke orang lain—meskipun orang itu juga mantannya, tapi bukannya justru itu yang harus dipertanyakan?

Unforgettable, every second of itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang