makan malam dengan sebuah curahan hati dan pengakuan

3.9K 556 90
                                    

Mereka berada di restoran ramen yang berada di salah satu mall. Karena semuanya tidak ada urusan lagi setelah pulang kantor tadi, Barnes menyarankan untuk makan bersama.

Lalu Petro yang sedang ingin makan ramen, memilih tempat kesukaannya. Berada di dalam mall yang juga tidak jauh dari kantor mereka.

"Mbak, mau nasi dong." Minta Barnes.

"Lo makan ramen pake nasi?" Petro memasang ekspresi anehnya.

"Nes, kalo Indomie pake nasi ya okelah. Ini ramen, udah tau porsinya banyak. Gak masuk lagi ditambah nasi." Ilman juga merengut jijik melihat porsi makan Barnes.

"Asal lo pada tau ya, orang Jepang juga kalo makan ramen gak kenyang bakal pake nasi juga. Bedanya mereka dipisah, sisa kuah dari mienya bakal dicampur nasi—kalo gue sih, ya langsung aja gabungin mie sama nasinya."

"Setau gue juga gitu—kalo mie mereka abis terus masih ada kuahnya, ya bakal dicampur nasi." Cetus Petro.

Barnes membalas. "Gak usah geli liat gue, ada juga kok orang makan Samyang pake nasi."

"Kalo itu tujuannya bukan buat kenyang, tapi buat ilangin pedes." Jawab Ilman.

Itulah bukti bahwa setiap orang punya kebiasaan dan keunikan masing-masing. Jika kalian para manusia yang merasa paling benar dan tidak mampu menerima sesuatu yang berbeda, seharusnya jangan tinggal di bumi.

Orang yang masih menutup mata akan dunia yang dihuni oleh berbagai macam makhluk, seharusnya diam diri saja di rumah tanpa melihat keluar. Biarkan diri kalian terkungkung dalam kehampaan dimana itu adalah sebuah kehidupan yang ideal bagi kalian. Karena pikiran sempit dan tidak terbuka hanya akan menghambat perkembangan.

"Gue mau ke toilet bentar, misi Pe." Barnes yang duduk di pojok dekat tembok, menyuruh Petro minggir.

"Elah, baru mau nyuap gue."

"Jangan lupa minta pegangin, Nes." Ledek Ilman dengan kekehannya.

"Sini lo yang pegang." Balas Barnes.

Selagi satu temannya itu pergi, Petro mengambil kesempat untuk berbicara. Sejak kemarin kepalanya dikelilingi oleh berbagai pertanyaan dan spekulasi.

Sebenarnya ini bukan urusan dia, tapi Petro sebagai sahabatnya seharusnya mengetahui. Karena mereka bertiga—termasuk Barnes—berjanji jika ada hal yang terjadi atau mereka mengalami sesuatu, harus saling terbuka.

Dan sepertinya baru kali ini Ilman terlihat menutupi sesuatu. Biasanya dia terbuka, bahkan jika habis dicampakan oleh 'teman' yang baru beberapa hari dekat.

"Man, gue mau nanya boleh?"

"Tanya aja, berasa reporter lo minta ijin dulu." Ilman masih menikmati ramennya.

"Lo lagi deket sama orang ya?"

"Sama setan, Pe." Santai Ilman.

Petro memberikan tatapan jengkel. "Serius goblok, lagi deket sama orang kan lo?"

"Ya ampun Pe, kalo gue gak deket sama orang ya sama siapa lagi? Sama binatang?"

"Maksud gue, sekarang lo lagi ada hubungan kan sama orang?"

"Gue gak pernah pacaran." Ilman seperti memutarkan inti pembicaraan, namun tetap dengan sikapnya yang seolah tidak peduli.

"Tau gue, anjir! Maksud gue... aduh lo pahamlah dongo! Masa gue jelasin sih."

Ilman mendesah malas, menyandarkan punggungnya. "Gue lagi gak deket sama siapa-siapa."

Bukan Ilman tidak mau jujur, hanya saja memang dia belum ada di tahap yang lebih dari itu dengan Arik. Tentu sekarang mereka sedang rajin komunikasi, tapi seperti diketahui—belakangan Ilman sedang takut melangkah.

Unforgettable, every second of itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang