mereka yang jadi pendukung dalam cerita

6.3K 678 81
                                    

Vespa yang dikendarai oleh Arik membelah padatnya jalan. Di belakangnya, Ilman bertingkah kikuk karena bingung harus berpegangan kemana saat motor mengerem.

Pasalnya vespa milik Arik ini tidak ada besi melengkung di bagian belakang jok untuk pegangan. Terpaksa Ilman menumpu pada kakinya saat secara tiba-tiba motor harus berhenti. Mau pegangan ke jaket Arik tapi Ilman masih tau diri, dia tidak serendah itu untuk langsung bertindak kurang ajar.

"Motor lo kenapa gak ada besi bagian belakangnya sih?" Ilman kesal juga, sebab kakinya jadi pegal karena harus menahan tubuhnya.

"Oh itu? Biar kalo bonceng cewek, mereka bisa meluk saya."

Ilman terbengong, alasan yang receh sekali. "Kalo yang lo bonceng laki kaya gue, gimana?"

"Ini pertama kali saya bonceng laki-laki."

Agak tersipu juga ketika Ilman mendengarnya—meskipun itu sama sekali bukan rayuan. Tapi malu juga sebenarnya, entah karena apa. Ilman jadi salah tingkah sendiri.

"Di depan muter balik, kantor gue yang itu." Ilman menunjuk salah satu gedung di seberang.

Arik menuruti perintah, dia melewati santai lampu merah tanpa takut. Mengendarai tanpa ragu walaupun yang dilakukannya salah.

"Eh, gak boleh langsung puter balik. Tunggu lampu ijo dulu. Lo gak liat tandanya?"

"Gak ada polisi ini."

Ilman mendengus. "Tapi dari sebelah sana lagi jalan, bahaya." Telunjuknya mengarah ke jalan di depan.

"Buktinya kita selamat aja." Disaat melakukan hal yang berbahaya, Arik malah sempat-sempatnya tertawa.

Mereka berhenti di gedung berlantai belasan, termasuk bangunan baru. Tapi di dalamnya terdapat beberapa penyewa—salah satunya perusahaan tempat Arik bekerja.

Wajah Ilman memandang kesal pada Arik yang sedang cengengesan melihatnya. Seolah apa yang dilakukan pria ini wajar—ya memang banyak orang melakukan hal yang sama, tapi tetap saja itu melanggar aturan.

"Kalem kali, Bang. Kaya gak pernah nerobos lampu merah aja." Arik mengambil kembali helmnya yang diberikan Ilman.

"Hampir aja ada mobil nyerempet, bisa jadi ke rumah sakit gue bukan kantor."

"Tapi sekarang sampe kantor, kan?"

Memang pria model Arik ini selalu menganggap remeh apa yang dilakukannya. Tidak peduli apa yang terjadi beberapa menit bahkan detik ke depan—hidupnya berkonsep 'saat ini biarlah terjadi, selanjutnya pikirkan nanti'.

"Gue gak heran kalo lo punya cewek bakal jantungan nanti karena dibonceng lo." Tukas Ilman.

"Tapi Abang gak jantungan, kan?"

"Ngeles mulu lo." Geplak Ilman pada kepala Arik, belum sampai sehari mereka kenal, tapi rasa kenyamanan sudah dirasakan. "Panggil pake gue-lo ajalah dan gak usah ada embel-embel 'bang' segala. Berasa preman gue."

Dan Arik pun menanggapinya dengan santai ketika Ilman mulai bertingkah akrab dengannya. Kesamaan dari mereka adalah mudah dekat dan disukai oleh orang lain. Karena orangnya asik dan enak diajak berbicara—meskipun ada kesan ketus pada Ilman dan slengean pada cara bicara Arik.

"Entar dibilang gak sopan sama yang lebih tua." Lirik Arik.

"Dari tadi lo bawa motornya juga gak ada sopan-sopannya, udahlah kaku juga kalo pake 'saya' sama pake 'bang' segala."

Setelah memastikan Arik pergi, baru Ilman melangkah masuk ke dalam kantor. Bukan apa-apa, karena tidak tau terima kasih saja jika Ilman langsung masuk tanpa membiarkan Arik berjalan lebih dulu.

Unforgettable, every second of itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang