"Lo mau ajak gue makan dimana?" Arik menyetir dengan menuruti arah perintah dari Ilman.
"Udah ikutin aja deh, mau ditraktir makan enak aja pake banyak nanya."
Mobil berjalan di antara gemerlapnya lampu ibukota. Suara klakson dari kendaraan yang tidak sabaran menghadapi kemacetan. Tertutupnya kepadatan Jakarta oleh langit gelap yang hanya tersinari dari sang rembulan.
Menyusuri jajaran gedung tinggi di pusat kota. Mereka memasuki salah satu hotel yang terbilang cukup mewah.
"Ayo, kenapa bengong aja?" Ajak Ilman.
"Serius mau ajak gue makan disini? Lo ada uang emang? Sayang tau." Ragu Arik.
"Gue ada tabungan buat jalan kaya gini, tenang aja. Sekali-kali kita butuh makan enak."
Mereka tidak makan di restoran hotel tersebut, melain di rooftop yang mana lebih menyajikan nuansa remang dengan lampu-lampu kecil di sekitar. Ditambah dengan alunan sendu dari lagu yang mengalun pelan, menambah kenyamanan bagi pengunjung yang ingin berlama-lama menikmati landscape kota dari atas sini.
Ilman memilih bar yang berada di sisi gedung, dibanding dengan table yang hanya tersedia di bagian dalam.
Mereka berdua langsung menghadap kota Jakarta yang memang terasa lebih indah ketika malam.
"Jadi utang gue lunas ya?" Ujar Ilman setelah mereka memesan kudapan serta minum.
Sengaja tidak makan berat, karena di acara Petro tadi mereka sudah mengisi perut sampai penuh. Bahkan Arik makan dua porsi sate kambing lalu setelah itu menyantap nasi goreng dengan lauk ayam mentega dan telur.
"Iya, jadi lo bisa mati dengan tenang."
"Sialan, berasa umur gue tinggal hitungan detik." Kesal Ilman.
Arik terkekeh. "Eh tapi ini seandainya ya, kita berandai-andai aja. Kalo lo dikasih umur cuma sampe besok, apa yang mau lo lakuin?"
Tampak Ilman berpikir sejenak sebelum menjawabnya. "Kalo gue jawab ngabisin waktu seharian sama orang yang disayang, kedengerannya klise banget ya."
"Basi sih, selain itu? Karena jawaban itu terlalu umum."
"Gue pengen orang yang gue sayang, ungkapin apa yang dirasainnya saat itu juga. Karena gue mau di hari terakhir gue hidup, gak ada beban yang menghalangi gue untuk pergi."
"Nyindir gue ya? Hari ini lo banyak ngasih kode." Balas Arik.
"Justru lo yang mancing dengan pertanyaan itu." Lirik Ilman.
"Tapi berhubung umur lo masih panjang, ya mudah-mudahan aja masih panjang. Jadi tunggu aja sampe waktunya dateng."
Malam itu tidak ada pembahasan yang sensitif. Semua berjalan santai dengan tidak ada keterpaksaan. Mereka menikmati obrolan tanpa saling mengusik lebih dalam.
Ilman tidak egois untuk segera mendapatkan kembali apa yang mereka mulai sebelumnya, sementara Arik juga tidak memungkiri bahwa dia masih ingin menggapai perasaan itu kembali.
Namun rasa tidak semudah itu diungkapkan dan dijalankan. Mereka telah belajar, bahwa hal tersebut bukan hanya sekedar kata—melainkan simpul dalam sebuah ikatan yang berlandaskan isi hati.
Untuk saat ini mereka hanya ingin yang terjadi sekarang tetap berjalan. Tidak lagi putus di tengah, tidak lagi terjebak dalam kebuntuan.
"Gak usah pulang, udah lewat tengah malem." Ujar Ilman ketika mereka sampai rumah.
"Lo emang gak pengen gue pergi kan?"
"Geli lo." Ilman pergi meninggalkan.
Arik mengikuti di belakang. "Yaudah gue nginep kalo lo maksa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...