"Man, ada beberapa masalah di mobil lo. Jadi kalo ada waktu, dateng ke bengkel ya."
Ilman yang baru saja bangun dari tidur lelapnya, memandang ketus layar ponselnya. Tidak tertera nama, hanya nomor saja. Tapi dia tau siapa orang yang mengiriminya SMS ini.
"Baru gue bilang kemarin biar santai aja ngomongnya, eh malah kelewatan. Kurang ajar bocah, kencing aja belom lurus lo." Ilman mengomel sendiri pada ponsel yang digenggamnya.
Tanpa pikir panjang, Ilman save nomor tersebut dan memberi nama 'Anak Peler' dengan segala emosi di pagi hari. Siapa yang tidak kesal—baru bangun tidur sudah membaca SMS dari bocah yang masih pakai seragam SMA dengan kalimat yang tidak ada sopan-sopannya.
Walaupun itu juga kesalahan Ilman karena menyuruhnya agar tidak memakai embel-embel 'bang' pada namanya.
"Man, depan nih. Pager lo digembok, goblok. Gimana gue mau masuk." Sekarang Barnes yang mengiriminya pesan dengan seenaknya.
Kalau saja cicilan ponsel ini sudah lunas, pasti Ilman sudah melemparnya ke dinding. Sayang saja masih ada angsuran hingga lima bulan ke depan.
Memang selama mobil masih di bengkel, Ilman meminta Barnes agar mengantar jemputnya setiap hari. Tentu awalnya Barnes menolak mentah-mentah, namun karena diming-imingi akan dibayari makan siang sampai mobil Ilman kembali, jadilah dia setuju.
"Lompat aja sih, biasanya lo juga manjat pager kalo abis ngapel di rumah cewek." Ilman yang masih pakai boxer serta kaus longgar, mengomel sembari membuka pagar.
Cewek yang dimaksud Ilman bukan pacar—karena seperti yang diketahui, kalau Barnes ini jomblo. Tapi cewek yang dimaksud adalah teman senang-senang yang sampai sekarang masih dilakukannya.
"Biar gak ketawan orang tuanya—kalo sampe tau anaknya gue apa-apain, bisa mencar kepala gue dari leher."
Dalam hal berpakaian, Barnes bisa dibilang tipe orang yang tidak bisa rapi. Alias dia memakai baju sesukanya tanpa peduli penampilannya seperti apa.
Jika Ilman ke kantor memakai kemeja yang sudah licin tanpa ada kerut dan juga harus wangi, maka Barnes biasanya hanya memakai kaus oblong kusut yang ditutupi kemeja flannel. Celana juga bukan bahan seperti seorang karyawan pada umumnya, melainkan jeans yang sudah pudar.
"Untung ya Capung gak pernah masalahin pakaian karyawannya." Ilman melirik Barnes dari atas sampai bawah.
"Makanya lo gak usah ribet-ribet dandan."
"Kalo gue kaya lo begitu, gak bakal ada orang yang mau deket sama gue." Ilman mengambil handuk di halaman belakang dan berjalan menuju kamar mandi.
Sementara Barnes sudah seperti berada di rumah sendiri, mengambil sepotong roti serta selai coklat di meja makan. "Yah, sekarang lo yang tampil banget aja gak ada yang mau, Man. Mending gue, senyum dikit ke cewek langsung pada lemes."
Miris juga mendengarnya, meskipun dengan penampilan total Ilman yang bisa dibilang hampir sempurna—tapi tidak ada juga yang kecantol. Paling hanya sebatas melirik dan mengedipkan mata, tapi tidak ada yang mengajaknya berkenalan.
Karena prinsip Ilman adalah dia sebagai kembangnya, biarkan kumbang yang nantinya menghampiri. Terakhir ada kumbang yang hinggap padanya itu sekitar dua tahun lalu—tentu hubungan yang tanpa status sesuai prinsip Ilman yang lain.
Sesampainya di kantor—yang untungnya tidak telat. Mereka berdua disambut oleh tumpukkan pekerjaan yang diberikan oleh Petro. Dengan wajah kecut, sang Pemimpin Redaksi itu meletakkan berlembar-lembar kertas ke meja mereka.
"Masih belum berhasil balikkan sama Lila?" Barnes langsung to the point.
"Gue udah ketemu sama adeknya dan nanya-nanya dia, tapi nihil. Dia gak tau apa-apa, kecuali satu." Petro menghela napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable, every second of it
Teen FictionIni bukan kisah cinta klasik yang akan berakhir bahagia atau malah mati bersama. Pertentangan antara kedua orang tua ketika sang buah hati malah terjerat dalam ikatan kasih. Merebut pujaan dengan perjuangan tanpa kenal lelah, dengan jalan cerita yan...