18.2 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time
Chapter sebelumnya
= = = = = = = = = =
Abel duduk di samping Ardian tanpa memandang laki-laki berkacamata itu. "Apa yang mau kamu omongin ?? kamu nggak punya waktu banyak. Ini di kampung bukan di Jakarta, nggak baik laki-laki dan perempuan berbicara malam-malam di luar, bisa jadi bahan gosp tetangga." Abel mengucapkan semua kalimatnya dalam satu tarikan napas. Ardian hanya melongo mendengar ucapan Abel yang lain dari biasanya.
= = = = = = = = = =
"Aku mau ngomong sesuatu." Ujar Ardian sambil menatap Abel dari samping.
"Yaudah ngomong aja, biasanya juga gitu." Abel masih enggan menatap Ardian.
Ardian memejamkan matanya sejnak lalu menghela napas dengan kasar, "Masa kaya gini ?? kamu memalingkan muka, aku kaya ngomong sama tembok."
"Tiap kali aku ngomong sama kamu juga gitu." Balas Abel tak peduli.
Ardian mengusap wajahnya dengan kasar, sepertinya ia memang keterlaluan selama ini. Ardian menarik bahu Abel hingga tubuh Abel berhadapan dengannya. "Okay, kamu cukup kaya gini lima menit, abis aku bicara terserah kamu mau ngapain." Hati Abel mencelos mendengar kata 'terserah' dari mulut Ardian. Sepertinya laki-laki itu memang tidak bisa memilih kata yang tepat.
"Aku minta maaf buat semua yang sudah terjadi, dari awal kita kenal sampai hari ini." Ardian membasahi bibirnya yang terasa kering. "Aku tahu kamu punya perasaan lebih sama aku sejak dulu, tapi aku selalu pura-pura tidak tahu dan meyakinkan diriku jika itu hanya ilusi."
"Kejam." Gumam Abel tanpa sadar sambil menatap mata Ardian.
"Iya aku tahu, aku kejam." Ardian memejamkan matanya, "tapi enggak selamanya aku bisa berpura-pura." Bayangan Abel yang menolak teleponnya saat hendak landing melintas dalam pikirannya, hati Ardian merasa terusik dengan penolakan Abel. "Saat tahu ada laki-laki lain di rumah kamu, aku ngerasa perasaan aneh, apalagi laki-laki itu lebih tahu tentang kamu dibanding aku." Abel hanya terdiam menunggu Ardian melanjutkan ucapannya tanpa berniat menyela.
"Aku ngerasa nyaman saat kamu mau berada di samping aku, dan pas kamu ngungkapin perasaan kamu ke aku, refleks hati aku membalasnya. Meskipun pikiran aku mengatakan jika aku belum yakin dengan semua ini. Setelah semua yang terjadi aku yakin bahwa apa yang aku lakuin itu benar. Tapi kenapa kamu malah pergi seolah kamu enggak yakin lagi sama aku ??"
"Sikap kamu, Ar. Yang bikin aku nggak yakin dan menjauh." Jawab Abel. "Kamu nggak pernah mau terbuka sama aku tentang apapun, kerjaan kamu, teman-teman kamu, hidup kamu, masa lalu kamu." Ucapan Abel terakhir terdengar seperti sebuah bisikan. "Kalo Mama kamu nggak nyerita, aku nggak bakal tahu kamu dulu kaya gimana. Iya aku tahu, kita nggak hidup di masa lalu, kita hidup hari ini menuju masa depan. Tapi, kalo aku tahu kamu dulu gimana, senggaknya ada sedikit hal yang bisa aku ceritain ke orang tua aku atau orang lain yang nanya tentang kamu ke aku." Tangan Abel mengepal menahan emosi, "Aku tuh kayanya bego banget ya?! Saking begonya kamu enggak mau jelasin tentang kerjaan kamu, hidup kamu!! Karena takut itu nggak bakal nyampe di otak aku ?!!"
Setiap kali Abel meminta Ardian menceritakan sesuatu –apa saja- setelah Abel menceritakan ceritanya, Ardian selalu mengatakan jika hidupnya tidak menarik. Abel pun tak ingin memaksa Ardian untuk menceritakannya. Tapi, diam-diam Abel mencari tahu seluk-beluk tentang dunia pemrograman. Setidaknya Abel harus sedikit tahu mengenai dunia yang dicintai Ardian itu.
"Aku nggak terbiasa bercerita sama orang lain, Bel." Ujar Ardian lirih.
"Iya karena kamu manusia hebat yang bisa melakukan semuanya sendiri!!" bohong, batin Abel. Abel tahu Ardian justru selalu melakukan pekerjaan atau pun tugas bersama timnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest is A Programmer
General Fiction[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...