18.4.2 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time
"Apa dia merasa bermasalah dengan lo yang punya dunia berbeda sama dia ??"
Abel menggeleng, "Dia malah bilang, dia seneng punya pacar yang punya dunia berbeda, bikin hidup dia berwarna."
"Nah, terus masalahnya dimana ?? dia udah nerima lo." Vania bisa merasakan betapa besar cinta Ardian pada sahabatnya, namun Ardian tidak langsung melimpahkan semua perasaan dalam hatinya pada Abel. Dia memberikannya sedikit demi sedikit secara terus menerus, agar Abel bisa terus merasakannya setiap hari, setiap saat.
Abel tepekeur mendengar pertanyaan dan pernyataan dari Vania. Abel tidak pernah memiliki mimpi yang besar, selain mimpinya untuk pergi ke Jepang. Sedangkan Ardian, tanpa bermimpi besar pun dia sudah memiliki sesuatu yang besar dalam genggamannya, Abel hanya merasa tidak yakin dapat mendampingi Ardian.
"Ardian atau siapapun nama si mata empat, dia udah benar-benar jatuh cinta sama lo. Dan lo bilang sendiri kalo dia sekarang udah berubah lebih baik, dia berubah demi lo." Vania menatap Abel dengan tatapan yang sulit diartikan, tapi senyuman tidak menghilang dari wajahnya. "Sekarang gue tanya, lo maunya gimana ??"
"Dia masih susah buat nyeritain kerjaan dia. Gue pengennya dia ngelibatin gue, senggaknya dia nanya pendapat gue atau apa gitu."
"Yaudah lo ngomong aja ke dia, kan emang harus gitu kalo sama dia." Ujar Vania dengan lembut, "Kan lo tau sendiri kalo dia bukan cowok yang peka, kalo lo nggak ngomong, ya dia nggak bakal pernah paham apa mau lo."
Keduanya pun terdiam, Vania memberikan waktu pada Abel untuk mencerna ucapannya.
"Lo udah bilang sama Ardian kalo lo mau ke Jepang bentar lagi."
Mata Abel yang tadi terlihat sedikit sayu, tiba-tiba terbuka. "Gue bingung nyari waktu yang pas buat bilangnya, dia sibuk terus belakangan ini."
"Nah, kan. Lo sendiri nggak nyerita ke dia hal besar yang bakal lo lakuin."
Apa yang dikatakan Vania memang benar. Sekarang Abel malah terlihat egois menginginkan Ardian melibatkannya dalam hidupnya, sedangkan Abel sendiri masih belum melibatkan laki-laki itu.
"Gue ngerti, lo nggak maksud buat egois, lo hanya nggak siap buat nerima respon dia. Tapi, lo harus nyerita sama dia secepetnya. Biar dia nggak ngerasa kecolongan. Gimana pun respon dia nanti, lo harus terima."
Abel mengangguk, "Mungkin abis dari sini gue ngomong sama dia."
Vania langsung memeluk Abel, "Bagus! Itu baru Abel yang gue kenal."
Seseorang mengetuk pintu kamar rias, lalu terdengar suara pintu dibuka. Vania pun melepaskan pelukannya. "Mbak, mau pengambilan foto sebelum akad dulu ??" Abel mengenal suara itu.
Abel memutar kepalanya untuk memastikan pendengarannya tidak salah. Seorang laki-laki yang beberapa minggu terakhir ini tidak ia temui, sekarang muncul dihadapannya. Abel belum berkomunikasi lagi dengan Rezvan setelah kejadian laki-laki itu mabuk dan meneleponnya.
"Kak Rezvan." Panggil Abel dengan nada yang riang seperti biasa. Vania mempersilakan Rezvan untuk masuk.
Rezvan mengerjapkan matanya, "Hai Bel." Senyum separo menempel pada wajah lelaki itu, tidak seperti biasanya. Dan Abel menyadari hal itu.
"Gue keluar dulu, Van. Pengen ketemu sama Mama lo." Abel bangkit meninggalkan tempat tidur, Abel sempat melemparkan senyuannya -sekali lagi- pada Rezvan.
"Abel." Suara datar nyaris dingin itu mengagetkan Abel yang baru saja menutup pintu kamar rias.
Punggung Abel langsung menempel pada pintu, tangan kannanya bergerak memegang dadanya. "Ardian. Ngagetin aja!" Abel menegakkan tubuhnya dan memasang senyum terbaiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest is A Programmer
פרוזה[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...