18.4 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time

217 19 0
                                    


18. 4 My Dearest is A Programmer – Abel and Ardian time

Gomen aku bagi dua bab 18.4 nya, suasana tidak mendukung untuk menulis panjang.

"Titip Abel, ya!" ujar Ardian sebelum menutup ruang rias Vania.

Vania hanya tersenyum sambil mengacungkan jempolnya lalu membawa Abel untuk duduk di atas tempat tidur kecil milik adik bungsu Vania. Gadis yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya itu sengaja merubah kamar adik bungsunya menjadi kama rias, agar lebih mudah di akses, karena berada di lantai satu.

"Dia jadi beda."

Abel menaikan sebelah alisnya, "Beda apanya ??"

"Jadi lebih protektif sama lo."

"Wajarlah, kan gue pacarnya."

Vania menggenggam tangan Abel, "Gue berharap banget lo sama Ardian bisa nyusul gue cepet-cepet."

"What ?!!" Abel kaget, "Enggak ah, kuliah gue belom beres. Masih banyak hal yang pengen gue lakuin, belum mau nikah-nikahan."

"Nikah, Bel. Bukan nikah-nikahan." Koreksi Vania. Senyum tidak terlepas dari wajah ayu Vania, baju muslimah berwarna putih dengan bawahan yang mengembang membalut tubuh langsingnya dengan sempurna.

Riasan tipis menghiasi wajah Vania yang memang sudah cantik tanpa menggunakan apapun. "Lo kurang tidur ?? mata lo kaya panda." Vania mengusap kantong mata Abel yang terlihat menghitam. "Bu Maria enggak ngasih lo deadline berat kan ?? anak-anak IT enggak macam-macam, kan sama lo selama gue cuti ??" tanya Vania khawatir.

Abel menggeleng, "Semuanya baik-baik aja di kantor."

"Terus ??"

Abel rasa ini bukan waktu yang tepat untuk menceritakan masalahnya dengan Ardian pada Vania. Abel tidak ingin mengganggu momen bahagia Vania dengan masalahnya yang bisa disebut sepele ini. Tapi, Vania tidak akan mau diam sampai Abel menceritakan masalahnya. Berbohong dengan mengatakan "nggak ada apa-apa" pun rasanya percuma, Vania pasti tahu ada sesuatu yang salah dengan Abel.

Abel mengembuskan napas pelan, "Maybe, something wrong with me and him." Abel menekan kata terakhir.

"Ceritalah, Darl. Jangan dipendam sendiri." Vania mengusap punggung tangan Abel yang masih ia genggam.

"Enggak ah, ntar lo kepikiran pengen ikutan beresin masalah gue." Begitulah Vania, selalu membantu mencari solusi untuk permasalahan Abel dan Fikri. Vania lebih dewasa daripada Abel dan Fikri, dia selalu berusaha mengayomi mereka berdua seperti seorang kakak pada adiknya.

"Santai aja. Justru gue ngajak lo kesini buat nyerita, biar gue enggak terlalu nervous mau akad." Vania berusaha meyakinkan. Abel justru menggeleng dengan senyuman sedih, Vania mengerucutkan bibirnya. "Waktu tau lo pergi ke Bandung. Kaya orang kesetanan, Ardian masuk kantor kita dan nyari Fikri."

Raut wajah Abel terlihat kaget mendengar ucapan Vania. Abel tidak tahu jika Ardian mendatangi kantornya saat ia pergi ke Bandung.

"Tapi sayang banget, waktu itu si Fikri udah tiga hari di Bandung. Karena gue kasihan liat dia udah kaya pengembara hilang arah, gue ngasih alam ortu lo. Ya walau enggak secara detail sih."

Vania nyaris tertawa saat mengingat kembali bagaimana penampilan laki-laki yang baru beberapa menit lalu menutup pintu ruang rias. Berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan penampilan Ardian hari ini yang rapi dengan kemeja slim fit berwarna hijau tosca jas berwarna hitam dan celana katun yang pas membalut kaki panjangnya. Ardian terlihat sangat kacau, entah bagaimana Vania harus mendefinisikannya.

My Dearest is A ProgrammerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang