19.1 My Dearest is A Programmer- Tell All

180 18 0
                                    

19.1 My Dearest is A Programmer- Tell All

Chapter Sebelumnya

= = = = = = = = = =
"Tak apa, dahulu Fandi dan anak tak berguna ini sering sekali datang kemari. Tapi, belakangan mereka jadi jarang mengunjungiku. Jangankan mengunjungiku, memberikan kabar saja tidak pernah." Nenek Ardian menatap Ardian sendu, "tulangku sudah terlalu tua untuk mengunjungi cucu-cucuku di kota."

"Maafkan aku, Nek. Aku tidak lupa, hanya saja aku sedang sibuk."

Hanya terdengar helaan napas dari nenek Ardian, "Sudahlah. Lanjutkan saja makan kalian."

= = = = = = = = =

Setelah makan siang dengan Nenek Ardian, Abel menghabiskan waktu dengan melihat foto-foto Ardian sewaktu masih kecil di ruang tengah. Sedangkan Ardian memilih untuk tidur di kamarnya yang berada di loteng.

Ardian lebih berisi saat masih kecil, pipinya bulat tembam dan matanya dibingkai kacamata bertali yang saat itu sedang tren.

"Dulu, Ardian sering dibully oleh teman-temannya karena memakai kacamata." Jelas nenek Ardian saat Abel tengah memperhatikan foto Ardian yang menangis di tengah lapangan.

"Terus Nek?" tanya Abel penasaran.

Nenek Ardian mengambil album lain di atas meja dan membukanya, "Ya gitu, Ardian jadi enggak mau sosialisasi," nenek memperlihatkan foto Ardian yang tengah duduk sendirian sambil membaca buku di bawah pohon. Ardian mengenakan seragam sekolah dasar. Abel mengerutkan keningnya, Ardian membaca buku dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan buku itu nyaris menempel pada hidungnya.

Abel mengalihkan perhatiannya pada album yang masih berada di atas pangkuannya, "Ini siapa, Nek?" tanya Abel saat melihat Ardian berfoto dengan seorang anak perempuan.

"Itu Sela, anak angkat Nenek."

Abel terdiam, enggan untuk melanjutkan pertanyaannya. Tapi hatinya terusik melihat sisa album itu dipenuhi oleh foto Ardian dengan gadis yang bernama Sela. Abel menolehkan kepalanya, ternyata nenek tengah mentap Abel.

"Sela sudah meninggal, Cu. Kamu enggak usah khawatir." Sebuah senyuman penuh ketenangan terlukis pada wajah Nenek Ardian. "Kalian lagi ada masalah?"

"Huh?!" respons Abel refleks

"Biasanya kalo ada masalah, Ardi pergi ke sini."

Abel tersenyum kecil dan menyimpan album di atas pangkuannya ke atas meja. "Enggak tau ah Nek."

"Dia nggak mau nyerita ya sama kamu?" Telak sekali ucapan nenek Ardian. "Anak tidak tahu diri itu, memang seperti itu. Dia ingin dimengerti tapi tidak ingin mengatakan apa yang dia inginkan."

"Iya Nek. Ardian kaya gitu."

"Cu, coba kamu kasih pengertian sama dia. Dia bukan nggak mau cerita, tapi belum mau cerita."

"Hayoh!" Ardian tiba-tiba muncul di belakang kursi yang tengah Abel dan nenek Ardian duduki.

"Dasar anak tak tahu diri! Bagaimana kalau jantungku copot, hah?!" nenek Ardian memukul Ardian dengan album foto.

"Aduh, Nek. Jangan galak-galak, nanti tambah cantik loh..." Ardian mengedip-ngedipkan matanya, "nanti cewek yang di samping nenek kalah cantik."

"Apa sih, Ar!" Abel melemparkan sebuah bantal yang tidak jauh dari sisinya.

Ardian tergelak, "Udah ah." Ardian mengusap sudut matanya yang mengeluarkan air mata karena terlalu banyak tertawa. "Ayo ikut aku!" Ardian menggenggam tangan Abel dan membantunya berdiri.

"Mau kau bawa kemana calon cucuku yang cantik itu?!"

Ardian tersenyum lalu menempelkan telunjuk pada bibirnya, "Rahasia."

"Jika terjadi sesuatu, kau akan ku cincang." Nenek menunjuk Ardian dengan tajam.

Ardian tidak membalas ucapan neneknya, ia lebih memilih untuk terus berjalan menyusuri lorong menuju bagian belakang rumah.

"Kamu nguping?"

"Nguping apa?"

Abel berdecak pelan, "Obrolan aku sama nenek."

Ardian menggedigkan bahu sambil membuka pintu berwarna coklat di hadapannya, "Enggak lah. Tadi aku haus, terus ke dapur. Pas mau balik lagi aku liat nenek lagi ngobrol sama kamu, yaudah aku kagetin."

"Dasar jail." Abel mendudukan diri di sebuah ayunan besi bergaya vintage yang menghadap langsung ke perkebunan sayuran.

Ardian ikut duduk di samping Abel, "Sela sering marahin aku kalau aku ikut duduk di ayunan ini."

Abel diam menunggu Ardian melanjutkan ceritanya, tadi Abel tidak sempat bertanya pada nenek kemana Sela. Mengapa perempuan itu membiarkan ibunya tinggal sendrian? Mungkin Abel akan mendapatkan jawabannya dari Ardian.

"Enggak usah cemburu gitu dong! Sela itu udah nggak ada, nggak perlu kamu cemburuin."

Abel terbeliak, "Udah nggak ada?"

Ardian mengembuskan napas panjang, "Sela itu setahun lebih tua dari aku, pas mau masuk SMA dia meninggal karena leukimia." Ardian menengadahkan kepalanya menatap langit senja. "Dia itu selalu dengerin aku kalau aku ada masalah. Well, mungkin kamu udah denger dari nenek kalau dulu aku suka dibully sama temen-temen aku."

Abel mengangguk, "Dan tiap kali kamu dibully, kamu nyerita sama dia?"

"Iya gitu deh." Ardian terkekeh pelan. "Salah satu bully yang paling parah itu, pas aku nyerita ke teman sekelas aku tentang liburan. Aku nyebut salah satu temen aku, dan ternyata cerita aku berlawanan sama cerita dia. Dia nggak terima, dia bilang aku pembohong, padahal aku nyerita yang sebenarnya. Dia maju ke depan kelas, pas dia mau ngehajar aku, Sela datang dan Sela yang kena pukulan itu." Ardian meringis mengingat kembali kejadian itu. "Hidung Sela berdarah, semuanya panik. Sela langsung dibawa ke rumah sakit dan di situ, aku baru tahu kalau dia punya penyakit leukimia."

Ardian terdiam cukup lama, "Kok diem?"

"Eh?"

"Lanjutin aja, gak apa-apa." Abel berusaha tersenyum meskipun hatinya merasa tegang menunggu lanjutan cerita.

"Sela dirawat hampir satu bulan, karena kondisinya yang memburuk. Sejak saat itu, aku takut untuk bercerita. Apa pun itu, aku takut."

Abel termenung, jadi itu alasan mengapa Ardian sulit untuk bercerita. Saat itu Ardian hanya mengatakan jika ia belum terbiasa, tapi menurut Abel itu berlebihan. Namun, setelah mendengar cerita dari Ardian, Abel mengerti. Ardian trauma.

"Ar..."

"Sela meninggal, saat aku sibuk persiapan masuk ke sekolah favorit, saar aku mulai bisa coding." Ardian menoleh, "Aku sempat mikir buat berhenti ngoding aku pikir kalau aku enggak ngoding, aku bisa nemenin Sela di waktu terakhirnya."

Abel menggeleng, "Kalau waktu itu kamu milih berhenti ngoding, aku nggak akan bisa ketemu sama kamu."

Ardian tersenyum, "Dan aku bersyukur karena itu. Aku nemuin harapan baru setelah ketemu kamu. Kamu ceria dan rewel kaya Sela, tapi kamu dewasa dan beda dari gadis lain." Abel tersenyum, Ardian membalas senyuman Abel dan merangkul bahu Abel. "Jadi sekarang giliran kamu bicara."

"Aku harus ngomong apa?"

"Kenapa kamu masih belum cerita tentang beasiswa kamu ke Jepang?"

Abel memejamkan matanya, "Aku ragu buat cerita."

"Kenapa?"

"Belakangan aku ngerasa ragu buat ngelajutin beasiswa."

"Kenapa?" ulang Ardian.

"A-aku..."

TBC

My Dearest is A ProgrammerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang