Chapter Sebelumnya
= = = = = = = = = =
"Terus sekarang lo mau ngapain udah rapi gitu?" tanya Irvan.
Ardian mengusap-ngusap dagunya, lalu bergumam, "Hmm..." teman-temannya menunggu dengan pensaran. "Gue ... mau tidur lagi." Ardian langsung menyambar segelas susu di hadapan Fandi.
"Alien! Itu susu gue!"
"Bodo!" Ardian pun langsung kembali ke kamarnya tanpa memperdulikan umpatan dari teman-temannya.
= = = = = = = = = =
Setiap rindu itu perlu sebuah temu, bukan sekadar ucap dalam kata sendu
~Unknown
Ardian berjalan bolak-balik seperti setrika di depan terminal kedatangan, sesekali ia menggigit jempolnya. Sejak Fandi memberitahu Abel akan pulang, jantungnya terus berdetak dengan cara yang tidak wajar.
Di satu sisi, dia tidak sabar menantikan kedatangan Abel. Tetapi, di sisi lain dia merasa gugup. Setelah hampir tiga bulan, apa yang harus dilakukannya saat bertemu Abel nanti? Memeluknya? Tentu saja. Ardian ingin melakukan itu saat Abel melewati pintu keluar bandara nanti. Namun, Hinata tidak akan menyukainya, karena mereka akan menjadi pusat perhatian. Padahal itu menjadi hal lumrah di bandara.
Itu cukup aneh. Ardian bertanya-tanya, apa yang Stefan lakukan saat bertemu tunangannya? Apakah mereka hanya saling memandang saat di bandara, dan menumpahkan semua perasaannya saat di rumah? Ah, rasanya tidak mungkin. Apakah Stefan dan tunangannya juga merasakan debaran-debaran aneh seperti yang Ardian rasakan sekarang, setelah tidak bertemu dalam waktu yang lama?
Anggota timnya tidak ada yang menemaninya. Fandi pergi berkencan dengan Dila, Bryan kembali ke Medan untuk menyusul Stefan, Reiki menghilang sejak tadi siang, dan Irvan fokus membuat game di basecamp. Menyedihkan sekali. Ardian tidak bisa membagi kegelisahannya pada siapapun.
Ardian terus memandangi pintu keluar bandara sambil berpikir. "Selamat datang pake bahasa Jepang apaan coba?" tanyanya pada diri sendiri. Seingatnya Abel pernah mengucapkannya, tapi ia lupa.
Ardian mengacak rambutnya. "Mana dulu yang mesti gue bilang? Kamu baik-baik saja? Akhirnya kamu pulang juga, aku kangen kamu atau kenapa kamu pulang lebih cepat?" orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar Ardian mulai mentapnya aneh. "Kayanya pertanyaan yang terakhir kejam banget," lanjutnya bermonolog.
Akhirnya Ardian mengeluarkan ponselnya dan mengirim WhatsApp pada Abel. Untunglah penerbangan Abel memiliki wifi on board, jadi mereka masih bisa berkomunikasi. Meskipun sejak tadi pesan Ardian hanya dibaca oleh Abel.
***
Aku nunggu kamu di depan pintu keluar.
Pesan itu masuk ketika Abel menjejakan kakinya di lantai bandara Soekarno-Hatta. Ia merasa gugup dan senang. Abel melirik sekilas pada Kazuki yang mengekorinya dari belakang. Abel mengembuskan napas kasar, laki-laki itu terus mengikutinya selama berada di Jepang dan sekarang laki-laki itu mengikutinya kembali ke Indonesia.
"Sudah aku bilang, kamu tidak perlu ikut, Kazuki," ujar Abel.
"Hm? Kenapa?" tanya Kazuki. "Osaka terlalu panas, aku perlu mendinginkan pikiran dan tubuhku."
"Kamu bisa pergi ke Antartika, di sana lebih dingin dari pada Indonesia."
"Aku malah akan mati membeku atau dimakan beruang kutub."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest is A Programmer
Genel Kurgu[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...