[35] Kehidupan Baru

10.9K 1.4K 109
                                    

Ini adalah hari kedua setelah aku memberikan berkas perceraian pada Sehun, namun pria itu tidak memberikan tanggapan sama sekali pada berkas tersebut. Aku tidak tahu kapan dia akan menandatangani berkas itu.

"Apakah kau benar-benar akan bercerai dengan suamimu?" tanya Ibu untuk yang kesekian kalinya, memastikan bahwa aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku.

Aku hanya mengangguk, malas memberikan penjelasan lagi pada Ibu. Sudah berkali-kali aku menjelaskan mengenai alasan mengapa aku ingin bercerai pada Sehun, namun berulang kali juga ibu terus menanyakan apakah aku benar-benar akan bercerai dengannya.

Batas kesabaranku mengenai perilaku Sehun sudah tidak bisa kutoleri lagi. Aku sudah cukup bersabar dengan semua tingkah laku Sehun. Aku berusaha melupakan fakta mengena Sehun yang selalu bermain dengan wanita setiap malam dan aku juga mulai melupakan semua perilaku buruknya padaku.

"Aku sudah kenyang," kataku yang kemudian mengambil mangkuk bekas makananku dan membawanya ke tempat cucian piring. Setelah itu aku berjalan menuju kamar, menutup pintu kamar dengan sangat rapat dan kembali menangis dalam diam.

Kejadian yang terjadi sangat mendadak ini tentu saja membuatku sangat sedih. Apalagi setelah mengetahui fakta bahwa pria yang selama ini kukira mencintaiku, ternyata hanya melihatku sebagai mantan kekasihnya dan dia benar-benar tidak pernah mencintaiku sedikitpun.

Hanya bantal yang dapat kugunakan untuk meredam tangisanku yang mulai pecah ketika kembali memikirkan mengenai Sehun. Jujur saja selama dua hari ini aku benar-benar tidak memiliki keinginan untuk makan. Tapi karena aku memikirkan bayi yang sedang kukandung, maka mau tidak mau aku harus memaksa diriku memakan makanan yang Ibuku siapkan.

Kadang aku mulai berpikir, apakah ini karma yang Tuhan berikan padaku setelah aku meninggalkan Jongin seperti itu? Jika memang iya, kurasa aku memang benar-benar pantas untuk mendapatkannya.

Jadi ternyata sesakit ini dibohongi oleh orang yang kita cintai. Luka batin terasa lebih sakit daripada luka fisik yang pernah kudapat. Perih dan sakit yang tak berujung ini, benar-benar menguras air mataku sampai di titik dimana mataku mulai lelah mengeluarkan air sialan itu.

***
Hari ini aku sungguh tak ingin kemana-mana apalagi keluar dari kamarku. Aku hanya ingin sendiri, tanpa diganggu oleh siapapun sampai akhirnya Ibu memanggil namaku berkali-kali dan menyuruhku untuk keluar dari kamar. Dengan sangat terpaksa, aku menuruti keinginan Ibu dan keluar dari kamar.

Campur aduk. Itu adalah perasaan yang sedang kurasakan saat ini. Aku tidak tahu apakah aku harus senang atau malah benci melihat pria yang saat ini sudah duduk di ruang tamu dengan pakaiannya yang sangat rapi.

"Eomma ke dapur dulu. Kalian bisa berbicara tanpa eomma," ucap Ibu yang kemudian benar-benar meninggalkanku dan pria yang teramat kubenci itu.

Tenggorokkanku terasa sangat tercekat untuk hanya mengatakan satu atau dua kata pada pria ini. Mata sembab yang tak bisa kututupi, menjadi pusat perhatian Sehun. Dia tak bisa melepas pandangannya dari wajahku yang terlihat sangat berantakan.

"Apa kau sudah membawa surat perceraiannya?" tanyaku memaksa mulutku untuk berbicara. Sehun memandangiku dengan tatapan orang yang bersalah. Aku tidak tahu omongan kebohongan apalagi yang akan dia ucapkan padaku.

"Bisakah kita membicarakan soal ini lagi? Aku tidak mau diliputi rasa penyesalan jika aku benar-benar menandatangani berkas itu."

Married With Stranger (Oh Sehun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang