Kido menghentikan motornya sejenak. Ia menyingkap kaca helmnya lalu matanya memicing melihat Yura yang berdiri di seberang jalan dan tampak sedang mengobrol dengan seorang laki-laki tua.
"Itu Yura si anak cupu nggak, sih?" tanya Kido pada Alea yang duduk di jok belakang.
"Iya. Itu Yura. Dia biasa ngasih makanan ke pemulung," jawab Alea.
"Ngapain dia ngasih makanan ke pemulung?"
"Nggak tau. Mungkin dia cuma ingin dicap sebagai anak baik berhati malaikat."
Kido menggeleng tak peduli. Ia kembali menutup kaca helmnya dan bergegas pergi ke mall, tempat kesukaan Alea. Kido membelikannya berbagai macam barang untuk Alea. Lalu mereka menghabiskan waktu di taman, menikmati langit senja yang hangat.
"Eh kamu tau nggak, kenapa aku suka sama kamu?" tanya Alea manja.
"Kenapa?" Kido balik bertanya.
"Karena kamu tuh terbaik buat aku. Udah nggak pelit, ganteng, lucu, perhatian pula. Aku berasa jadi cewek paling bahagia tau nggak?"
"Iya dong." Kido mengacak gemas rambut Alea.
Tak lama saat mereka berbincang, seorang pengemis tua meminta sedekah dari mereka berdua. Kido hendak mengambil dompetnya tapi Alea langsung mencegahnya.
"Sayang, kamu nggak usah kasih dia uang," kata Alea setengah berbisik.
"Kenapa?" dahi Kido mengerut heran.
"Kalau kamu kasih uang ke pengemis, maka pengemis di Jakarta akan makin banyak karena malah akan dijadikan profesi. Banyak orang jadi malas."
"Tapi-"
"Pak, maaf ya, kami nggak punya uang receh," kata Alea tegas.
Pengemis tua itu pun berlalu pergi dengan muka murung. Ia memegangi perutnya yang keroncongan karena lapar. Sebenarnya ia adalah tukang becak. Karena hari ini ia tidak mendapat penumpang, ia terpaksa mengemis demi mendapat sesuap nasi. Tiga tahun yang lalu istrinya meninggal dunia dan kini ia hidup sendirian. Kedua anaknya pergi entah ke mana.
"Pak!" Kido berlari mengejar pengemis tua tersebut lalu memberikan uang 50 ribu padanya.
"Ini kebanyakan, Dek," tolak pengemis tua itu.
"Nggak apa-apa. Uang itu buat Bapak aja."
"Terima kasih ya, Dek."
"Iya, Pak. Sama-sama."
Alea melipat tangan dengan muka cemberut. Nasehatnya barusan tidak Kido dengarkan. Kido kembali duduk di sampingnya untuk mengamati langit senja.
"Kamu kok cemberut gitu sih, Sayang?" tanya Kido.
"Aku kan udah bilang ke kamu, kalau kamu nggak usah kasih pengemis itu uang. Dia malah akan jadi pemalas. Aku tuh ngomong kayak gini bukan berarti aku jahat. Tapi aku tuh cuma pengen pengemis itu sadar diri dan berhenti jadi pemalas. Kalau pengen makan, ya kerja. Bukan ngemis," omel Alea.
"Tapi kayaknya Bapak tadi benar-benar kelaparan. Aku dengar bunyi perut keroncongan dari perutnya. Aku nggak tega, Sayang."
"Kamu kan punya uang pecahan dua ribu. Kenapa kamu kasih pengemis tadi lima puluh ribu? Huh?"
"Uang dua ribu kan nggak bisa buat beli makanan, Sayang. Sesekali berbagi sama yang membutuhkan ya nggak apa-apa kan?"
"Udah ah. Aku males debat sama kamu. Nggak asik! Sekarang, anterin aku pulang."
Setelah mengantarkan Alea pulang, Kido kembali ke rumahnya. Ia melihat Yura yang sibuk membantu Bik Ija menyiapkan makan malam. Lalu ia menggeleng tak peduli dan terus berjalan menuju kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian.
"Oi Yura! Besok ada PR apa?" tanya Kido. Ia mengambil tempat duduk di meja makan.
"PR Sejarah," jawab Yura singkat.
Setiap hari, Kido dan Yura terbiasa hidup berdua bersama pembantu. Pak Jodi dan Bu Lisa sering jalan-jalan ke luar negeri. Entah itu sedikit atau banyak, mereka setiap hari pasti berinteraksi.
"Eh Bik Ija, makan bareng kita yuk!" ajak Yura sambil menyiapkan kursi di sebelahnya.
Bi Ija menggeleng. "Enggak, Non. Saya makan di dapur saja. Saya kan cuma pembantu di sini."
"Nggak apa-apa, Bik. Lagian nggak ada Papa Jodi dan Mama Lisa. Jadi Bibik bisa duduk bareng kita. Iya kan, Kido?"
Kido mengangguk cepat. "Iya, Bik. Ayo makan bareng kita!"
Bik Ija pun bersedia duduk bersama Kido dan Yura dalam satu meja makan. Setelah selesai makan, Yura membantu Bik Ija mencuci piring. Sudah berulang kali Bik Ija menolak bantuan Yura. Tapi Yura tetap bersikeras membantu.
"Aduh, Non. Biar saya saja. Pekerjaan Nona itu belajar bukan cuci piring," kata Bik Ija merebut piring yang dipegang Yura.
"Nggak apa-apa, Bik. Lagian, cepat atau lambat, aku bakal jadi ibu-ibu rumah tangga. Jadi aku harus tau caranya mencuci piring."
"Ah Nona bisa saja." Bik Ija terkekeh.
Kido tercenung. Sebelumnya, dia mengira bahwa Yura adalah gadis yang pemarah, sombong, dan pelit. Tapi ternyata Yura bukan gadis yang seperti ia bayangkan selama ini. Yura ternyata baik hati, suka menolong, dan murah senyum. Kepribadian Yura sangat berbeda dengan Alea.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIDO VS YURA [TERSEDIA DI GRAMEDIA]
Teen FictionJUDUL LAMA = ILFEEL TAPI CINTA TERSEDIA DI GRAMEDIA DAN TOGAMAS SELURUH INDONESIA "Kidoooo balikin ciuman pertama gue!" tagih Yura kesal. "Mana bisa dibalikin? Lo mau gue cium lagi?" tantang Kido. "Gue jijik! Gue bakal cuci bibir gue tujuh kali ba...