Chapter 22

351K 17.4K 299
                                    

Kido terhenti di ambang pintu. Dilihatnya Yura yang sedang menggunting plastik pembungkus kasur. Sepertinya Yura membeli kasur baru. Kido meletakkan tasnya ke sembarang tempat lalu menghampiri Yura dan duduk di sebelahnya.

"Ngapain lo beli kasur?" tanya Kido penasaran.

"Gue mau tidur di kasur ini. Gue nggak kuat tidur di sofa ruang tamu. Nggak enak. Banyak nyamuk," jawab Yura sambil terus menggunting plastik pembungkus.

"Gue kan udah bilang, lo boleh tidur di samping gue. Lagian, gue nggak bakal macam-macam kok."

"Gue nggak mau tidur satu ranjang sama lo lagi. Makanya gue beli kasur baru dan gue taruh di kamar. Soalnya di ruang tamu banyak nyamuk." Yura mengambil sprei dari dalam lemari lalu memasangnnya di kasur barunya.

"Jadi, elo bakal tidur di kamar bareng gue?"

Yura terhenti sembari menatap Kido penuh curiga. "Iya. Gue tidur di kamar. Tapi jangan sekali-kali elo punya pikiran aneh ke gue. Jangan sentuh gue, dan jangan napsu sama gue!"

"Lo itu suka banget su'uzon sama gue." Kido berdecak kesal.

"Cepetan mandi sana! Lo udah bau ketek."

"Masa' sih?" Kido mencium ketiaknya sendiri secara bergantian dari kanan lalu ke kiri.

"Cepetan mandi sana!"

"Iya deh iya." Kido berdiri dari tempatnya lalu pergi menuju kamar mandi.

Kehidupan mereka berdua sudah seperti sepasang suami istri. Saling mengingatkan ibadah, saling mengingatkan makan, saling mengingatkan mandi, dan saling mengingatkan mengecek ada PR atau tidak. Walaupun Yura terkesan galak, tapi Kido benar-benar menyukainya. Karena Kido sudah merasa nyaman hidup bersama Yura. Dia berharap, Yura dapat jatuh cinta padanya.

Setelah makan malam dan belajar bersama, Yura tidur di bawah bersama kasur barunya. Yura menarik selimut dan mematikan lampu. Yura lupa bahwa Kido takut terhadap ruang gelap. Kido memeluk guling erat-erat lalu berlari menyalakan lampu.

"Ups sorry, Do. Gue lupa kalau elo phobia ruang gelap," kata Yura.

"Gue tahu kalau elo nggak bisa tidur nyenyak di ruang yang terang, Ra. Tapi gue nggak bisa tidur di ruang yang gelap." Kido kini duduk di sebelah Yura.

"Besok kita beli lampu tidur aja. Kita sama-sama bisa tidur kalau di ruang yang remang-remang. Untuk malam ini, kita nyalain lilin aja." Yura pergi menuju dapur dan mengambil lilin beserta koreknya.

Yura kembali ke dalam kamar, menyalakan lilin, lalu mematikan lampu. Kido kembali ke kasurnya dan bergegas tidur. Yura pun demikian. Ia menarik selimut dan memejamkan mata. Kemudian tertidur pulas.

"Ra, lilinnya hampir mati tuh!" Kido terbangun saat cahaya lilin semakin lama semakin redup.

"Hm?" Yura menyahut setengah sadar.

"Ambil lilin di dapur sana!" Kido sudah mulai gemetaran lalu ia berlari untuk menyalakan lampu.

Kido mengambil lilin dari dapur dan menyalakannya. Ia merasa lega melihat Yura yang masih tertidur. Untung saja ia tidak menganggu Yura. Kido segera mematikan lampu dan kembali tidur. Tiba-tiba hujan lebat datang bersama dengan petir yang menyambar-nyambar. Kido terbangun lagi sambil memeluk guling erat-erat. Ketika suara gemuruh petir berdentum keras, Kido langsung beralih ke kasur Yura dan memeluk Yura erat-erat.

"Ngapain lo peluk-peluk gue?" tanya Yura ketus. Ia terbangun karena pelukan Kido yang begitu erat.

"Gue takut petir, Ra," jawab Kido.

"Lo itu takut gelap, sekarang elo takut petir juga." Yura melepaskan pelukan Kido dan menyalakan lampu.

"Gue nggak bisa tidur kalau ada suara petir, Ra. Tiap kali hujan lebat, gue tidur bareng nyokap sambil meluk nyokap."

"Terus kalau nyokap bokap lo nggak ada di rumah, lo meluk siapa kalau hujan?"

"Ya siapa aja yang bisa dipeluk. Kan ada sopir yang tidur di kamar kosong."

"Jangan-jangan lo homo!"

"Enggak, Ra. Gue nggak homo. Buktinya gue suka sama lo."

"Ha?" Yura mengorek telinganya, barang kali ia salah dengar.

"Pokoknya, gue nggak homo. Gue cuma 2 kali meluk sopir. Itu pun karena gue takut petir. Bukan karena gue suka, Ra."

"Tadi lo bilang apa?"

"Yang mana?" tanya Kido berusaha mengalihkan pembicaraan.

Di tengah pembiacaraan, suara petir kembali menggelegar. Kido spontan memeluk Yura sambil gemetaran. Yura dapat tahu bahwa Kido tak berpura-pura takut. Itulah sebabnya, Yura membalas pelukan Kido dan menepuk-nepuk punggung Kido untuk mencoba menenangkannya. Kido meneguk ludah saat ia mencium aroma wangi dari tubuh Yura. Rasanya ia ingin menciumi leher Yura. Namun ia sebisa mungkin menahannya karena ia takut Yura marah dan tidak mau bicara dengannya lagi.

"Kenapa elo bisa takut sama ruang gelap sama petir sih?" Yura mengelus lembut punggung Kido.

Kido mengeratkan pelukannya. "Dulu saat gue TK, gue pernah nggak sengaja terkurung di dalam gudang sampai malam hari saat hujan lebat."

"Apa elo nggak mencoba ke dokter untuk menghilangkan trauma itu?"

"Gue sudah berulang kali ke dokter. Tapi nggak ada yang bisa menyembuhkan gue."

"Terus, lo mau meluk gue sampai kapan?" Yura melepaskan pelukan Kido.

"Ra, gue tidur di samping elo, ya?" pinta Kido memelas.

"Tapi-"

"Gue janji cuma meluk elo sampai hujan reda."

Yura mengangguk. Ia tak tega melihat Kido ketakutan. Lalu ia membiarkan Kido tidur di sampingnya sambil memeluk punggungnya. Kido tersenyum senang. Meskipun ia sangat takut petir, tapi ia berharap petir datang setiap malam agar ia punya alasan untuk tidur bersama istrinya sambil memeluk istrinya erat-erat.

***    

KIDO VS YURA [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang