[22] Rasya Syafryansyah POV

110 21 7
                                    

LUNA PLUTO

Nama tersebut tertulis jelas di batu nisan. Samping kanan dan kiri kuburan Luna terdapat kuburan orang tuanya. Gue sempat shock sebentar tadi, tapi yang lainnya malah shock sampai sekarang, terlebih yang ceweknya. Bahkan mereka sampai sekarang masih tetep mengatakan, "gak, ini gak mungkin," berulang-ulang kali.

Si Fara yang ada di sebelah gue juga masih bersedih-sedih-ria. Eits, jangan kalian pikir gue gak empati ya, gini-gini gue juga shock cuma gara-gara ada sesuatu hal dari kejadian ini yang bikin gue terus berfikir. Janggal. Kata itu cocok untuk menggambarkan kejadian ini.

"Sudahlah guys, kita harus ikhlasin Luna biar tenang disana," kata Arya mencoba menenangkan.

"Iya, sekarang udah jam 4 sorean nih, pulang yuk," bujuk Edward.

"Emang kalian mau nangis sampe ketiduran di kuburan?" Gue ikut ikutan membujuk. Tapi yang dibujuk berlagak tuli. Kasihan juga sih sebenarnya.

Ya, taulah gimana rasanya ditinggal selamanya sama sahabat sendiri. Gue udah tau rasanya ditinggal orang yang gue sayang, makanya gue masih memaklumi.

"Udah, nangisnya lanjutin di rumah aja," ucap Farel.

"Ayo pulang, udah mau maghrib, nanti hantunya pada muncul semua loh," timpal Grey nakut nakutin. Palingan juga dia yang takut.

"Gak baik lama lama di kuburan. Yang mau pulang, ayo pulang, yang masih mau disini biarin disini." Suara tegas si Nigel sukses bikin mereka yang lagi nangis langsung berdiri, kemudian mengikuti Nigel yang udah berjalan pergi.

Kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah masing-masing dan memilih membicarakan misi kami selanjutnya lewat chat group BS. Seperti biasa, gue nganterin Fara pulang dulu. Dia kelihatan sedih banget, jadi gue urungin niat buat ngajak bercanda.

Kami sampai di rumah Fara sekitar jam 5 lebih.

"Thanks, Rasya," ucapnya dengan menyodorkan helm.

"Far, jangan terlalu larut dalam kesedihan ya, ikhlasin aja."

"Hm, iya."

"Senyum dong Far, ayo senyum, hii," goda gue dengan membuka lebar lebar mulut gue. Akhirnya si Fara senyum juga.

"Gitu dong senyum, kan cantik. Daripada kaya tadi murung mulu, jelek," hibur gue lagi.

"Hehe, gue kan emang cantik dari lahir."

"Iya deh iya, biar seneng."

Lo tau Far, gue tulus bilang lo cantik karena lo emang cantik kalau lagi senyum. Bahkan entah kenapa tiap malem gue gak bisa tidur, kebayang senyuman lo. -Batin gue.

"Oke deh, gue masuk dulu ya, hati hati di jalan," pamitnya dengan mulai memasuki rumahnya.

"Eh, Far!"

"Ya?"

"Gue sayang lo."

"Hah? Apa?"

"Eh, enggak-enggak. Gue pulang ya, bye." Gue segera melajukan motor gue pergi dari rumah Fara.

Gila! Setan apa barusan yang ngrasuki tubuh gue. Bisa-bisanya gue bilang kaya gitu. Gue berani sumpah, itu tadi bukan gue yang bilang. Dasar mulut kampret. Bikin malu aja.

15 menit kemudian.

Gue sampai di rumah-kontrakan-gue. Gue mendapati Jelo yang duduk di kursi teras rumah. Udah jadi kebiasaan Jelo datengin gue. Dia sering banget ke rumah gue, entah hanya main, ngerjain tugas, ngegame, atau kadang pernah numpang mandi.

Rumit.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang