[20] Grey Glenn POV

108 22 10
                                    

"Bantuin gue jadian sama dia, kebetulan dia sesekolah sama kita." Pinta gue ke Vio.

Mata gue berbinar berharap penuh Vio bisa bantuin gue. Tapi gue mulai pesimis saat senyuman Vio luntur begitu saja.

"Ooh, o-okela."

Syukurlah Vio menyetujuinya. Guepun menjawabnya dengan senyuman. Kemudian si Vio malah pergi mendahului gue dengan sedikit berlari.

Gue heran, kenapa Vio tiba-tiba pergi ninggalin gue. Itupun setelah gue minta bantuan sama dia. Ada apa coba sama Vio? Gue salah ngomong ya?

"Vi, tungguin gue!" Gue berlari menyusul si Vio. Bukannya gue kasar, tapi gara-gara si Vio malah lari, jadinya gue menarik pergelangan tangannya agar dia berhenti. Akhirnya Vio pun berhenti.

"Loh, Vi, lo kenapa nangis? Lo marah ke gue?" Tanya gue panik dengan mencoba mengusap air matanya.

"Hehehe, enggak Grey. Gue tadi kelilipan, habis itu nguap, terus karena gue laper, gue jadi duluan deh, hehe," balasnya. Gue tau Vio bohong, dan gue juga tau Vio pasti nangis, tapi kenapa?

"Oh okelah, ayo buruan jalan deh, lo kan udah kelaperan." Ajak gue dengan menarik pergelangan tangannya. Gue gak mau Vio ngambek lagi ke gue, jadi lebih baik gue menghindari perdebatan dengannya lagi.

Akhirnya kami sampai di warteg itu dan segera memesan makanan. Saat makanan datang, Vio adalah orang pertama yang paling bahagia.

Entah seberapa laparnya dia, sampai-sampai dia pesan double porsi. Dia juga makannya lahap banget, tanpa peduli kalau berat badannya nambah, dan tanggapan orang tentang dirinya.

Gua jadi demen lihat dia makan. Lucu. Eh, kenapa gue jadi ngomongin Vio sih?

"Jangan liatin Vio makan mulu! Makan noh makanan lo," kata Jelo membuyarkan lamunan gue.

"Eh, kagak," jawab gue ke-ciduk. Tiba-tiba mata gue tertuju ke Vio yang juga ngelihatin gue. Tanpa ada angin atau hujan, dia tersenyum manis ke arah gue. Dengan kikuk guepun membalas senyumannya.

Dia terus saja tersenyum. Jujur, Vio itu unik, bahkan saat pertama kali gue ketemu dia. Entahlah, tiap kali gue lihat dia senyum, gue selalu ingat Risa. Ya, Risa itu temen dan tetangga gue dari kecil. Karakternya hampir sama seperti Vio, hanya saja lebih kalem.

Oleh karena itu gue minta bantuan Vio dengan sikap supelnya agar membantu gue makin deket sama Risa.

"Grey?" Panggil Vio tiba-tiba.

"Apa?"

"Bayarin ya? Gue lupa kalau uang gue habis, hehe, please.." pinta Vio memelas. Ternyata dia senyum-senyum daritadi ada maunya. Ya, apa boleh buat, guepun cuma bisa mengangguk pasrah.

"Yeyy, thanks, lo baik deh, haha," dengan malas gue menjawabnya dengan gumaman. Kampret emang, padahal gue tadi udah muji-muji dia di batin gue.

"Guys udah sore nih, gimana kalau balik aja?" Tanya Giselle dengan melihat jam yang ada di warteg itu.

"Okelah, besok kita jenguk Bryan ya, sama bicarain si Jubah Hitam itu." Jawab Rasya.

Kemudian kami semua memutuskan untuk pulang. Rasya nganterin Fara pulang, Jelo bareng Giselle, dan gue pastinya nganterin Vio dulu.

Saat di jalan, Vio nanya mulu tentang Bravewolf. Akhirnya gue pun menjelaskan semuanya. Mulai dari gue yang jadi ketuanya, -bukan niatan sombong- terus Rasya yang jadi tangan kanan gue, -sekali lagi gak niat sombong- lalu juga anak-anak Bravewolf yang mayoritas sesekolah sama gue.

Gue juga bilangin ke dia agar jauh-jauh sama geng motor Boldfire, mereka adalah geng motor yang kacau, liar, dan bahayalah. Intinya gue tadi udah kayak emak-emak yang ceramahin anaknya.

Rumit.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang