[44] Malam yang Panjang

50 8 5
                                    

Suara hutan malam hari terus terdengar. Semakin lama suara tersebut semakin muak di telinga. Kevin, Jelo, dan Giselle sangat frustasi malam ini. Mereka terus memutar otak mencari cara untuk menyelamatkan teman-temannya.

Mereka berusaha sekuat tenaga meredam amarah. Di waktu seperti ini mereka harus selalu berpikiran jernih. Jangan sampai tindakan gegabahnya menjerumuskan diri sendiri.

"Jay Janus."

Kevin dan Giselle langsung menoleh pada Jelo. Wajah bertanya-tanya jelas terlihat di sana.

"Pimpinan geng motor BoldFire. Musuh bebuyutan BraveWolf, geng motor Grey, Rasya, dan gue. Semua anggota BraveWolf punya dendam tersendiri dengannya. Dan belum lama ini, BoldFire dikabarkan pindah markas." Jelas Jelo. Kevin dan Giselle semakin tidak paham apa maksud Jelo.

"Ya terus apa hubungannya?" Tanya heran Giselle.

"Dia yang tadi kelahi sama gue."

Mendengar ucapan Jelo, baik Giselle ataupun Kevin segera mendekat dan memposisikan duduknya dengan benar. Ya, Kevin dan Giselle mulai paham dan tertarik akan ini.

"Jadi BoldFire ada di sini?" Tanya tepat sasaran Kevin. Jelo hanya mengangguk.

"Bentar-bentar, kalau saja BoldFire ada di sini, berarti semakin sulit untuk kita tentuin mana Jubah Hitam asli dong?" Tanya Giselle.

"Lo pikir gimana gue bisa tau kalau dia Jay?" Tanya balik Jelo.

Giselle sontak menutup mulutnya bahagia. Walaupun kabar baik ini entah berguna atau tidak, tapi setidaknya mereka tau ciri-ciri Jubah Hitam asli. Namun seketika Giselle berubah muram kembali.

"Tapi Jel, orang-orang yang culik gue waktu itu juga pakai pengubah suara. Jadi kemungkinan kita masih punya beberapa kandidat sebagai Jubah Hitam asli." Jelas Giselle.

"Kalaupun mereka semua gak pake pengubah suara, kita juga tetap susah menebaknya. Mana mungkin mereka akan buka suara di hadapan kita?" Balas Jelo.

Benar juga apa yang dikatakan Jelo. Kevin dan Giselle tengah memutar otak untuk memecahkan kasus ini.

"Eh tunggu, bisa saja malahan Si Jubah Hitam itu sengaja nunjukin dirinya sendiri. Inget gak lu kalau dia itu sangat narsis ke kita. Dia selalu ngasih petunjuk buat kita. Bisa saja nanti saat bertemu kita, dia akan lebih menonjol daripada yang lainnya. Dengan begitu kita akan mudah menandainya." Jelas panjang Kevin.

"Dan sepertinya tujuan utama dari rencana Jubah Hitam ini memang meneror kita. Tanpa peduli kalau saja dia sudah kita tandai. Karena dia tau kalau kita gak akan bisa menebak wajah di balik topeng tersebut." Tambah Jelo memperjelas. Di saat seperti ini Jelo memang sangat menguntungkan.

"Nah ini nih. Seluruh kandidat kita gak ada yang benar-benar cocok. Dalangnya aja kita gak tau, apalagi motif dia." Ujar Giselle.

"Yang bisa kita lakuin sekarang ya cuma selamatin temen-temen yang ketangkep. Sesuai dengan arus permainan Jubah Hitam." Kevin berdiri. Beranjak mengambil tasnya. Jelo dan Giselle masih diam di tempat.

"Emangnya lo tau dimana mereka? Ini udah pukul delapan malem, Vin. Kita akan semakin sulit di dalam hutan." Kata Giselle mencoba memperingatkan.

"Buruan siap-siap." Ucap kasar Jelo. Ia sependapat dengan Kevin dan ikut memungut tasnya.

"Inget kejadian Jerry kan? kalau kita telat, semakin bahaya. Lagian gue udah hafal dengan Jubah Hitam. Dia pasti bersembunyi di gedung tinggi tua persis tempat lo dan Jerry dulu." Kevin masih dengan sabar menjelaskan.

"Jubah Hitam udah gak bisa diremehin, Sel. Dia benar-benar prepare mati-matian." Tambah Jelo.

"Sinting!" Geram Giselle. Lalu ia segera berdiri mengikuti Kevin dan Jelo memulai penjelajahan malamnya di hutan gelap tadi.

•••

"KEVIN! TIARAP!"

Pats

Untung saja Kevin segera tiarap mengikuti Jelo dan Giselle. Alhasil anak panah yang tadinya menuju ke Kevin kini melesat jauh mengenai pohon.

Merasa sudah aman, mereka bertiga mulai berdiri dan melanjutkan perjalanan. Entah mengapa, semakin mereka masuk ke dalam hutan, makin banyak pula jebakan.

"Untung aja lo-- AAKHH!" Tiba-tiba saja kaki kanan Giselle tertarik ke atas hingga tubuhnya melayang dan membuat dirinya digantung terbalik.

"ASTAGA!"

Jelo dan Kevin sangat panik. Mereka berdua memikirkan bagaimana cara menyelamatkan Giselle dari atas sana. Gelapnya hutan ini membuat mereka mudah terkena jebakan. Nampaknya Jubah Hitam sudah membuat jebakan sebanyak-banyaknya di hutan ini.

"Oke Sel lo tenang jangan banyak gerak!" Teriak Jelo.

Akhirnya Jelo memerintahkan Kevin untuk memanjat pohon dan memotong benang bening yang menjerat kaki Giselle. Sedangkan Jelo akan menangkap Giselle tepat di bawahnya.

Giselle mulai merintih kesakitan. Darah di pergelangan kaki Giselle terus mengucur akibat kuatnya ikatan benang bening.

"Gue itung sampai tiga, baru lo potong, Vin!" Perintah Jelo. "Satu.. dua.. Tiga!"

Bug

Giselle jatuh tepat di gendongan Jelo. Giselle sontak memeluk Jelo. Ia tak tahan lagi. Ini penyiksaan. Air mata Giselle sudah tak kuat dibendung.

Jelo ikut tumbang merasakan ini semua. Ia terduduk dan membalas pelukan kuat Giselle.

"Sstt, semua bakalan baik-baik aja, tenang." Ucap lembut Jelo.

Kevin turun dan merasa haru melihat adegan di depannya. Tak disangka ia akan ikut campur dengan kasusnya yang amat rumit ini. Kevin akui bahwa kasus Jubah Hitam inilah yang paling berbahaya dan menyusahkan.

Setelah itu Jelo memotong bagian lengan kiri kaosnya. Dengan cekatan ia mengikatkannya pada luka di pergelangan kaki Giselle untuk menghentikan pendarahan.

"Gue lihat gedung tinggi di sebelah barat saat manjat pohon tadi." Ujar Kevin.

"Hah? Di tengah hutan seperti ini?" Tanya Jelo.

"Iya. Gue sebenarnya udah pernah searching tentang hutan ini sih. Di sini memang pernah ada pabrik illegal dulunya. Lalu pemiliknya ditangkap, dan gedung itu ditinggalkan gitu aja." Ungkap Kevin.

"Oleh karena itu gue sangat menentang kalian pergi waktu itu. Bahkan gue terus menolak kalian, karena gue takut ada apa-apa. Tapi seluruh bukti dari kalian tentang Jubah Hitam yang menghilang menggoyahkan keputusan gue. Selain itu, gue juga pengen liburan sih, hehe. Jujur, gue nyesel kalau tau kayak gini jadinya." Jelas panjang Kevin.

Jelo yang membantu Giselle berjalan pun mendekat pada Kevin. Mereka berdua menepuk pundak Kevin perlahan. Membantu memberikan semangat lewat tepukannya.

"Makasih. Gue yakin kita akan menang kali ini." Ucap Giselle.

Akhirnya mereka tetap melanjutkan perjalanan ini walaupun jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Kini mereka lebih berhati-hati tiap langkahnya. Karena jebakan menunggu kedatangan mereka.

Mereka terus berjalan dan berharap bahwa gedung tua itu telah berada di hadapannya. Hingga doa mereka akhirnya terkabulkan. Tepat beberapa langkah dari mereka, gedung tua yang penuh dengan aura kegelapan sudah berada di depan mata.

Senyum bahagia nampak di wajah Giselle, Jelo, dan Kevin. Dengan percaya diri mereka melangkah memasuki kawasan gedung.

Namun baru saja akan membuka pintu utamanya, sebuah tongkat terlempar membuat Jelo terjatuh ke lantai dengan sangat keras hingga lututnya berdarah. Kedua temannya refleks berlutut mencoba membantu Jelo.

"Gak semudah itu, Angelo."

Kevin dan Giselle sontak mendongak pada Jubah Hitam ini. Oh tidak. Ralat.

Mereka berdua mendongak melihat puluhan Jubah Hitam berdiri rapi di depan mata.

•••
TBC

By the way,
Selamat Hari Lahir Pancasila🇮🇩❤
Semoga Indonesia semakin jaya dengan adanya Pancasila❤❤

01/06/19

Rumit.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang