[37] Topeng Tiap Orang

60 14 2
                                    

Sebenarnya, mengenali seseorang belum tentu benar-benar 'kenal', maksimal hanya sebatas 'tau'.
•••

"Fara!"

Rasya berlari menyusul Fara yang kini sedang menunggunya di parkiran motor. "Dateng juga ternyata," gumam Fara.

"Udah lama nunggunya?" Tanya Rasya sembari memakai helmnya, dan memberikan helm pada Fara. "Ehm, gak juga sih,"

Setelah puas membicarakan Jubah Hitam dengan BS tadi, kini mereka memutuskan pulang saja akibat sudah hampir maghrib. Rasya yang sedari tadi menahan kencing segera pergi ke toilet dan menyuruh Fara menunggunya.

"Yuk, naik," perintah Rasya. "Langsung pulang kan?" Tanya Fara. Karena tiap kali pulang dengan Rasya, ia tidak selalu langsung pulang. Paling-paling diajak makan dulu atau sekedar mampir ke taman.

"Ya gak dong. Makan pecel lele dulu, kuy. Lagi pengen," jawab Rasya dengan sedikit melirik Fara di kaca spionnya. "Ngidam, pak?"

"Hehe, iya neng," setelah itu Rasya segera melajukan motornya membelah jalanan di bawah langit yang semakin oranye ini.

Sesampainya di warung pecel lele yang dimaksud Rasya, Fara terlebih dulu turun dari motor dan melepaskan helmnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Hingga Fara melihat siluet yang nampak ia kenali, sedang bercengkrama dengan cewek yang tak dikenalinya.

"Grey?" Gumamnya yang terdengar oleh Rasya. Sontak Rasya ikut melihat ke arah yang dilihat Fara. "Kapan nyampenya tuh anak? Sama dia lagi," Tanya Rasya. Fara menoleh ke wajah Rasya yang kebingungan. "Lo kenal ceweknya?"

"Kenal lah, orang dia cewek yang digilai si Grey." Kalimat tersebut dengan licinnya keluar tanpa filter. Padahal hal tersebut dengan mati-matian dirahasiakan oleh sang empunya, Grey.

Dengan cepat Rasya menutup mulutnya sendiri. "Anjer keceplosan. Jangan bilang-bilang Grey kalau gue ngasih tau elu."

Fara masih bingung dengan keadaan ini. Ia masih mematung di tempat, sampai Rasya harus menarik pergelangan tangannya untuk mengikuti dirinya.

Mereka sampai di tempat duduk yang sedikit jauh dari Grey dan cewek tersebut. Kata Rasya, agar tak mengganggu mereka. Rasya pergi memesan dan kembali duduk di hadapan Fara yang masih setia mengamati temannya di seberang sana.

"Makin sipit mata lo kalau terus kepoin mereka," ceplos Rasya sedikit membuat sebal Fara. "Enak aja, mata gue lebar ya!" Elak Fara dengan melotot dipaksakan yang malah membuat komuknya gak ketulungan. Rasya yang melihatnya auto ketawa.

"Gue seneng kalau lo ketawa gini, daripada terus sedih kayak kemaren-kemaren." Entahlah, Fara juga tak sadar mengapa tiba-tiba mengatakan hal ini. Rasya terdiam. Mbak-mbak pelayan datang menaruh pesanan.

"Kok gue suka kalau lo yang ngomong gini ya, daripada Anissa," kata Rasya sembari menatap lekat wajah Fara. Fara mengernyitkan dahinya bingung. Rasya sepertinya tak sadar telah ngomong apa.

Menyinggung soal Anissa, Fara kembali penasaran dengan sosok gadis tersebut. Bagaimana bisa Anissa mengenal Rasya dan Grey waktu itu? Fara merasa ada sesuatu di masa lalu kedua temannya itu.

"Anissa itu... s-siapa lo?" Cukup nyali untuk menanyakan ini bagi Fara. Rasya yang baru sadar telah membuka topik obrolan baru yang salah, langsung membuang muka.

"Anu.." Bingung Rasya. "Temen sekelas."

Suasana menjadi canggung. Tapi Fara masih penasaran dengan ini.

"Gue rasa lebih," kata Fara lirih. "G-gue.. penasaran, lo sama Anissa.. eum--"

"Dia orang pertama yang berantakin hati gue." Potong Rasya cepat. Fara diam. Ia sadar, bahwa dia hanya sebatas teman baru Rasya di SMA.

"Oh, oke. G-gue--"

"Lo mau tau apa yang telah terjadi?" Tanya Rasya menawarkan. Tentu saja Fara mau. Sangat. Tapi Fara hanya terdiam menatap manik mata Rasya lekat.

"Anissa Purnama. Dia istimewa bagi gue. Orang yang berhasil menggambarkan sosok mama di mata gue. Kami sangat dekat dulu. Satu SMP dengan Grey dan Jelo." Rasya mulai bercerita. Kemudian ia menunjuk cewek yang bersama Grey di sana.

"Lo tau dia siapa? Risa. Sahabat Anissa. Grey dan Jelo dulu pernah bertengkar karena sama-sama menyukainya, hahaha. Namun ternyata yang masih bertahan adalah Grey. Kami berlima dulu sangat dekat. Gue dan Anissa sama-sama tau kalau kami memiliki perasaan yang sama. Tapi enggan untuk mengungkapkan.

"Hingga saat kenaikan kelas, Anissa pergi gitu aja. Dia gak pernah mau berhubungan dengan kita, entah kenapa. Hal itu sukses bikin gue sakit. Di hati tentunya. Gue marah kenapa dia seenaknya pergi dan seolah tak mengenali teman-temannya. Risa menjadi sangat benci dengan Anissa. Gue, Jelo, dan Grey pun sama. Tapi aneh, saat Anissa muncul kembali seolah tak ada apa-apa, gue malah susah untuk marah dengannya. Gue bingung, apakah masih menaruh hati padanya atau tidak." Ungkap Rasya dengan masih tersenyum getir.

Kini Fara paham. Ia tak bisa mengakui seolah sudah kenal dekat dengan sahabatnya ini. Fara bahkan hampir tak 'mengenali' Rasya maupun Grey. Fara hanya sebatas 'tau' tentang mereka.

Mereka sebatas teman baru, tidak paham persis dengan perasaan dan masa lalu yang tertutupi topeng diri.

Semuanya diam. Hanya terdengar bisingnya warung ini dan kunyahan masing-masing. Mereka terdiam sampai Rasya membawa pulang Fara.

"Thanks, Far. Udah mau dengar curcolan gue tadi." Ucap Rasya sebelum pergi dari rumah Fara.

•••

Ting tong

"Grey?"

"Uwaahhh, thanks Vi! Karena tips-tips dari lo, gue akhirnya.. JADIAN SAMA RISAA!!"

Malam ini, tepat setelah isya', Grey datang ke rumah Vio. Grey sangat bahagia, bahkan sesaat melupakan masalah terornya. Ia kembali ceria seperti Grey yang dulu. Grey mulai bisa ikhlas dengan kematian sobatnya.

Grey masih setia memeluk erat Vio dan loncat kegirangan akibat terlalu bahagia. Ya, selama ini Grey selalu konsultasi pada Vio, bagaimana caranya agar lebih dekat lagi dengan Risa. Padahal Vio sendiri sadar terhadap perasaannya pada Grey.

"Lepasin, bego! Sesak gue. Kalau Risa tau lo peluk-peluk gue, mati lo," ucap Vio dengan mendorong jauh tubuh Grey. "Selamat! Gak sia-sia gue ajarin lo."

Ucapan memang gak sejalan dengan hati. Mungkin yang Grey tau, Vio ikut senang dengan kabar dirinya dengan Risa. Cengiran lebar Vio selalu berhasil menutupi segala keresahan di hatinya. Ia terlalu pandai memakai topeng.

"Gilase, gue sangat berterimakasih sama lo. Gue traktir bakso bulek satu minggu dah,"

"Mwantep asoy! Sering-sering jadian lo kalau gini," jawab Vio semangat dengan duduk di kursi terasnya.

"Ogeb. Lo kata mau nyelir apa," sahut Grey ikut duduk di kursi satunya, dengan senyum yang setia terukir di wajahnya. "Ya kali kan,"

Sepanjang malam ini mereka habiskan untuk bercanda. Ini adalah kesempatan bagi Vio untuk semakin dekat dengan Grey, sebelum temannya ini sibuk berpacaran. Walau di hati Vio teramat sakit.

'Segitu bahagianya ya, si kampret ini bisa jadian sama Risa?' Pikir Vio dengan masih menampakkan deretan giginya di depan Grey.

Senyum dan tawa yang terlempar sangat palsu diberikan. Sesaknya dada yang jelas terasa menyakitkan.

23/03/19
Vomment ok:)
Thank you

Rumit.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang