[30] Asya Uranus POV

69 19 2
                                    

Wah gila sih!

Kaki Rachel penuh darah sampai berceceran ke lantai. Gue yang emang dari kecil jijik banget sama yang namanya darah, cuma bisa tahan rasa mual di perut. Beda lagi sama si Rachel yang sesekali cuma meringis kesakitan tanpa berteriak sekalipun. Padahal luka tembaknya cukup parah.

"Lo gak papa, Chel?" Tanya Fara. Jelas-jelas banyak darah malah tanya gituan, gimana sih ah.

"Kok lo telfonnya ke Jelo?" Tanya Vio penuh selidik. Ett, bentar, iyasih kenapa gue gak kepikiran ini ya? Se-enggaknya kan dia telfon Kak Nigel, secara kan mereka deket banget.

"Sshh, lo kok malah introgasi gue gini sih? Kaki gue sakit, bodoh! Aww," sergah Rachel yang nampak jelas sedang menahan rasa sakit. "Kan nama Jelo awalannya 'A' otomatis ada di baris teratas dong, sshh aw," lanjutnya.

"Ya lagian gimana bisa lo ada di lantai sat-" Vio masih bertanya dengan penuh selidik, tapi akhirnya terpotong oleh bentakan Kak Nigel.

Sebenarnya gue juga masih kebingungan, sama seperti Vio. Karena menurut gue kejadian ini sedikit kurang alami.

"Vio! Sekarang bukan waktunya untuk nanyain semua pertanyaan lo! Lebih baik kita sekarang bawa Rachel ke rumah sakit terlebih dahulu." Dengan sigap Kak Nigel segera menggendong Rachel, dan membawanya keluar menuju mobilnya.

Gue memilih diam di sini terlebih dahulu. Ada yang gak beres ini mah, Batin gue.

Gue lihat teman-teman gue pada pergi nyusul Kak Nigel dan Rachel. Hanya tersisakan gue, Arya, Vio, Grey, Nayla, dan Farel. Gue yakin, mereka yang memilih tinggal sejenak di lantai bawah bangunan reyot ini adalah orang yang memiliki kadar kepo di atas rata-rata.

"Gue takut." Sontak gue menoleh ke sumber suara, yaitu Nayla. "Napa lo?" Tanya gue.

"Gue takut kalau apa yang feeling gue bilang ini ternyata beneran." Jawab nanar Nayla dengan sorot mata yang menjurus ke gue.

"HAH?" Kompak gue dan yang lainnya, kecuali Vio. Sumpah gue gak tahu apa maksud Nayla.

Vio mendekat ke arah Nayla dan menepuk pundaknya pelan. "Tenang, gue juga punya feeling yang sama kayak lo. Gue juga takut untuk curigain dia."

Dengan wajah cengo, gue masih mencoba mencerna apa yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian, gue paham. Sebagian dari diri gue menyangkal hal itu, tetapi sebagian lagi seakan mendukung atas dasar bukti yang sedikit masuk akal.

"Gue benci sih harus bilang ini, tapi saat di lantai 3 tadi, gue lihat dia turun ke bawah dengan santainya." Papar Farel. "Dan saat di lantai 2, gue sempat ngobrol sama dia, katanya mau ambilin handphone si Nigel." Kata Grey menambahi.

"Ooh, mungkin karena itu Rachel jadi kepikiran telfon Jelo, karena dia tahu handphone Nigel ketinggalan." Ucap Arya menyimpulkan. "Udahlah guys, gak ada yang perlu dicurigain sama dia. Yang harus kita pikirin sekarang adalah, apa benar bangunan tua ini tempat Giselle diculik? Karena dengan adanya kejadian Rachel tadi seakan kode dari pelaku, agar kita segera pergi dari tempat ini." Sambung Arya panjang.

Ya, mungkin pikiran positif dari Arya ini memang ada benarnya. Gak seharusnya gue sepenuhnya curiga sama Rachel. Ah, gue jadi merasa bersalah.

Tapi kalau memang begitu faktanya, kenapa ia tak menjawab pertanyaan Vio tadi dengan alasan mau ngambil handphone Kak Nigel yang ketinggalan? Kenapa malah permasalahin huruf depan Angelo?

Tau ah bingung gue.

Kemudian masalah bangunan ini, jujur gue yakin ini tempatnya. Tetapi jika dikaitkan dengan petunjuk dan survey kami tadi, menunjukkan hasil yang kurang akurat.

Rumit.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang